BAB II
PEMBAHASAN
A. JENIS ARBITRASE
Yang dimaksud dengan jenis arbitrase
ialah macam-macam arbitrase yang diakui eksistensi dan kewenangannya untuk
memeriksa dan memutus perselisihan yang terjadi antara para pihak yang
mengadakan perjanjian. Jenis arbitrase yang diakui dan memiliki validitas,
diatur dan disebut dalam peraturan dan berbagai konvensi. Dengan demikian,
pembicaraan tentang eksistensi jenis arbitrase, tidak hanya bertitik tolak dari
Rv, tapi juga merujuk kepada Convention
of The Settlement of Investment Disputes Between States and National of Other
States, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbital Awards
serta UNCITRAL Arbitration Rules.
Malahan sekiranya pembicaraan jenis
arbitrase semata-mata bertitik tolak dari ketentuan Rv, sebagaimana yang diatur
Pasal 615 ayat (1), kita hanya mengenal satu jenis saja lembaga arbitrase.
Terasa aturan Rv tersebut ketinggalan dinamika, jika dibandingkan dengan jenis
arbitrase yang diperkenalkan oleh konvensi-konvensi yang dikemukakan.
1.
Arbitrase
Ad Hoc (Ad Hoc Arbitration)
Jenis arbitrase ad hoc disebut juga
“arbitrase volunter” atau “arbitrasi perorangan pasal 615 Rv ayat (1) tampaknya
hanya mengenal lembaga arbitrase ad hoc. Pengertian arbitrase ad hoc ialah
arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan
tertentu. Dengan demikian, kehadiran dan keberadaan arbitrase ad hoc bersifat
“insidentil”. Kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus
kasus perselisihan tertentu. Selesai sengketa diputus, keberadaan dan fungsi
arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
Untuk mengetahui dan menentukan apakah
arbitrase yang disepakati para pihak adalah jenis arbitrase ad hoc, dapat
dilihat dari rumusan klausula. Apabila klausula pactum de compromittendo atau akta kompromis menyatakan
perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase yang berdiri sendiri di luar
arbitrase “institusional”. Dengan kata lain apabila klausula menyebut arbitrase
yang akan menyelesaikan perselisihan terdiri dari “arbiter perseorangan” maka
arbitrase yang disepakati adalah jenis arbitrase ad hoc. Ciri pokoknya
penunjukan para arbiternya adalah secara perseorangan.
Arbitrase ad hoc oleh pasal 1 ayat (1)
Konvensi New York 1958 dirumuskan dengan istilah arbitrators appointed for each case yang bermakna: arbiter yang
ditunjuk untuk kasus tertentu untuk kasus tertentu untuk satu kali penunjukan.
Dalam ketentuan ini jelas dapat dilihat sifat insidentil yang melekat pada
arbitrase ad hoc. Hal itu dapat disimak dari perkataan appointed for each case. Penunjukan dan keberadaannya adalah kasus
per kasus. Fungsi dan kewenangannya bersifat “satu kali” atau een malig.
Pada prinsipnya arbitrase ad hoc tidak
terikat dan terkait dengan salah satu badan arbitrase. Pada arbiternya
ditentukan dan dipilih sendiri berdasar kesepakatan para pihak. Oleh karena
jenis arbitrase ad hoc tidak terkait dengan salah satu badan arbitrase, boleh
dikatakan jenis arbitrase ini tidak memiliki aturan tata cara tersendiri baik
mengenai pengangkatan para arbiter maupun mengenai tata cara pemeriksaan
sengketa. Dalam hal ini arbitrase ad hoc tunduk sepenuhnya mengikuti aturan
tata cara yang ditentukan dalam perundang-undangan. Arbitrase ad hoc yang
ditunjuk di Indonesia tunduk mengikuti tata cara pengangkatan dan pemeriksaan
sengketa yang diatur dalam ketentuan Rv. Begitu juga misalnya arbitrase ad hoc
yang ditunjuk di Singapura, harus berpedoman kepada ketentuan
perundang-undangan arbitrase Singapura. Akan tetapi prinsip tersebut tidak
mengurangi kemungkinan arbitrase ad hoc tunduk pada suatu rules atau konvensi tertentu, apabila para pihak menghendaki.
Misalnya para pihak sepakat menyerahkan penyelesaian kepada arbitrase ad hoc,
tapi aturan yang dipakai ialah UNCITRAL Arbitration Rules atau ICC Rules (International Chamber of Commerce).
Dalam kasus yang seperti itu, arbitrasenya bersifat ad hoc, namun aturan tata
cara dan penunjukan arbiter maupun proses pemeriksaan tunduk kepada aturan
UNCITRAL atau ICC. Tetapi arbitrasenya tidak tunduk kepada suatu badan
arbitrase institusional tertentu.
Mengenai cara penunjukan arbiter dalam
arbitrase ad hoc dapat dilakukan sendiri atas kesepakatan para pihak. Jika
arbiternya tunggal, pengangkatannya atas persetujuan bersama. Apabila
arbiternya lebih dari seorang, masing-masing pihak menunjuk seorang anggota,
dan penunjukan arbiter yang ketiga dapat dilakukan atas kesepakatan atau
menyerahkan kepada kesepakatan arbiter yang telah ditunjuk para pihak. Selain
dari cara penunjukan arbiter yang disebutkan diatas, boleh juga para pihak
menyerahkan kepada Pengadilan Negeri. Jika cara ini yang mereka tempuh, hakim
berwenang mengangkat arbiter yang diminta salah satu pihak berdasar ketentuan
pasal 619 Rv.
2.
Arbitrase
Institusional
Abitrase Institusional (institusional arbitration) merupakan
lembaga atau badan arbitrase yang bersifat “permanen”. Oleh karena arbitrase
institusional merupakan badan yang bersifat permanen, disebut juga permanent arbitral body . Nama itulah yang
diberikan pasal 1 ayat (2) Konvensi New York 1958 terhadap arbitrase
institusional.
a.
Sengaja
Didirikan
Arbitrase
institusional ialah badan arbitrase
yang sengaja didirikan. Pembentukannya ditujukan untuk menangani sengketa yang
timbul bagi mereka yang menghendaki penyelesaian di luar pengadilan. Ia
merupakan wadah yang sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul
dari perjanjian. Pihak-pihak yang ingin penyelesaian permasalahan mereka
dilakukan oleh arbitrase, dapat menjanjikan akan diputus oleh arbitrase
institusional.
Faktor kesengajaan dan sifat permanen
yang melekat pada arbitrase institusional, merupakan ciri pembeda badan ini
dengan arbitrase ad hoc. Ciri lain, arbitrase institusional sudah ada berdiri
sebelum sengketa timbul. Sedang arbitrase ad hoc, selain sifatnya insidentil,
untuk menangani suatu kasus tertentu, baru dibentuk setelah perselisihan timbul.
Perbedaan lain, arbitrase institusional
tetap berdiri untuk selamanya, dan tidak bubar meskipun perselisihan yang
ditangani telah selesai diputus. Sebaliknya, arbitrase ad hoc bubar dan
berakhir keberadaannya setelah sengketa yang ditangani selesai diputus. Selain
daripada hal-hal yang diutarakan, kesengajaan mendirikan arbitrase
institusional sebagai badan yang bersifat permanen, sekaligus disusun
organisasinya serta ketentuan-ketentuan tentang tata cara pengangkatan arbiter
maupun tata cara pengangkatan arbiter maupun tata cara pemeriksaan sengketa.
b.
Arbitrase
Institusional yang Bersifat Nasional
Arbitrase institusional
merupakan badan (body) atau lembaga (institusion) yang sengaja didirikan
sebagai wadah permanen. Jika kesengajaan pendiriannya hanya untuk kepentingan
suatu bangsa atau negara, arbitrase institusional tersebut dinamakan bersifat
“nasional”. Ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya meliputi kawasan
negara yang bersangkutan. Misalnya arbitrase institusional Badan Arbitrase
Nasional Indonesia yang disingkat BANI, merupakan badan arbitrase yang
berwawasan nasional indonesia. Ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya
meliputi kawasan wilayah nusantara. Akan tetapi meskipun BANI bersifat
nasional, bukan berarti ia hanya berfungsi menyelesaikan sengketa-sengketa yang
berkadar nasional. Dia dapat menyelesaikan sengketa-sengketa yang berbobot
internasional, asal hal itu diminta dan disepakati oleh para pihak.
Pada umumnya hampir setiap negara telah
memiliki arbitrase institusional yang bersifat nasional, sebagai pusat
arbitrase nasional pada negara masing-masing. Semula hanya dijumpai di kawasan
negara-negara maju. Tapi belakangan, terutama pada masa akhir-akhir ini telah
dijumpai di berbagai kawasan negara-negara berkembang sebagai upaya
mengantisipasi perkembangan perekonomian dan teknologi. Untuk sekedar catatan
mengenai arbitrase institusional yang bersifat nasional di luar Indonesia,
dapat disebut antara lain :
Ø Nederlands
Arbitrage Instituut merupakan pusat arbitrase nasional Belanda, di dalamnya
duduk wakil-wakil dari Kamar Dagang Belanda,
Ø The
Japan Commercial Arbitration Association, sebagai pusat arbitrase nasional
Jepang di lingkungan Kamar Dagang dan industri Jepang.
Ø The
American Arbitration Association, merupakan arbitrase institusional nasional
yang didirikan di negara Amerika Serikat yang pendiriannya didukung oleh Kamar
Dagang Amerika.
Ø The
British Institute of Arbitrators, sebagai pusat arbitrase internasional negara
Inggris.
c.
Arbitrase
Institusional yang bersifat Internasional
Di samping arbitrase
institusional yang bersifat nasional, ada juga arbitrase institusional yang
berwawasan internasional. Bahkan badan-badan arbitrase internasional yang ada
sudah lama didirikan. Salah satu badan arbitrase internasional yang tertua
antara lain Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce yang
disingkat ICC. Badan ini didirikan di Paris pada tahun 1919.
Pada dasarnya badan-badan arbitrase yang
berwawasan internasional, merupakan “pusat” perwasitan menyelesaikan
persengketaan di bidang masalah tertentu antara para pihak yang berlainan
kewarganegaraan di bidang perdagangan pada umumnya.
Selain daripada ICC, badan-badan
arbitrase yang berwawasan internasional yang paling menonjol antara lain:
1)
The
International Centre For Settlement of Investment Disputes (ICSID) dan lazim
disingkat atau disebut dengan nama “Center”.
Center
merupakan badan arbitrase internasional yang lahir dari Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States
and Nationals of Other States. Center menjadi pusat arbitrase
internasional, khusus untuk menyelesaikan persengketaan “joint venture” atau
penanaman modal antara suatu negara dengan warga negara asing. Didirikan pada
tanggal 16 Februari 1968. Pendiriannya diprakarsai oleh World Bank (Bank Dunia)
yang berpusat dan berkedudukan di Washington, Amerika Serikat. Tujuan
pembentukannya untuk melaksanakan ketentuan Convention
on the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States.
Dan dengan UU No.5 Tahun 1968, Indonesia termasuk salah satu negara anggota
konvensi. Pada bagian preamble, konvensi tersebut menjelaskan antara lain ,
didirikannya center (ICSID) merupakan kebutuhan kerja sama internasional (the need for international cooperation) dalam
perkembangan perekonomian dan sebagai aturan main dalam penanaman modal
(investment) sektor swasta.
2)
UNCITRAL
Arbitration Rules ( United Nations Commision on International Trade Law ) yang
lazim disingkat dengan UAR.
Rules
arbitrase ini lahir berdasar resolusi siding umum PBB pada tanggal 15 Desember
1976. Resolusi tersebut berisi anjuran kepada dunia arbitrase agar dalam
melaksanakan kegiatan arbitrase dipergunakan dan diterapkan UNCITRAL
Arbitration Rules. UNCITRAL Arbitration Rules disusun oleh panitia PBB yang
berisi peraturan mengenai arbitrase yang dianggap dapat diterima oleh segala
pihak masyarakat internasional yang system hokum sosialnya berbeda. Indonesia
termasuk salah satu Negara yang ikut menandatangani resolusi. Dengan demikian rules tersebut sudah termasuk system
tata hukum nasional Indonesia.
Resolusi
PBB yang melahirkan UNCITRAL Arbitration Rules adalah resolusi 31/98 tanggal 15
Desember 1976. Isi resolusi tersebut antara lain, mengakui manfaat arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian
persengketaan yang timbul dalam hubungan perdagangan internasional (Recognizing the value of arbitration as a method of
settling disputes arising in the context of international commercial relations
). Selanjutnya resolusi tersebut menyatakan, sangat perlu dan dibutuhkan
menetapkan suatu hokum yang khusus mengatur arbitrase yang dapat diterima oleh
Negara-negara yang berbeda system hokum social dan ekonominya sebagai sumbangan
yang memiliki arti penting bagi harmonisasi hubungan perkembangan ekonomi
internasional.
d.
Arbitrase
Institusional yang Bersifat Regional
Barangkali
ada kecenderungan dan anggapan dari kalangan Negara dunia ketiga yang masih
tergolong masyarakat yang sedang berkembang, putusan yang dijatuhkan badan
arbitrase internasional yang berpusat di Negara Barat, sangat didominasi oleh
kepentingan Negara-negara maju. Seolah-olah putusan-putusan yang diambil badan
arbitrase internasional yang notabene anggota arbiternya selalu diangkat dari
kalangan Negara-negara maju itu sendiri, dirasakan lebih memihak dan membela
kepentingan Negara-negara maju. Misalnya, putusan-putusan yang dijatuhkan Court
of the International Chamber of Commerce (ICC) yang berkedudukan di Paris,
mungkin sering dirasakan oleh dunia ketiga terlampau memihak dan membela
kepentingan Negara maju apabila terjadi perselisihan antara warga Negara dengan
warga Negara dunia ketiga. Anggapan sedemikian dapat diterima atas berbagai
alas an. Biasanya anggota arbiter yang diangkat selalu dari kalangan Negara maju,
yang mengakibatkan pandangan, falsafah, dan system tata hukum yang diterapkan
cenderung Eropa sentris. Akibatnya, kurang memahami dan memperhatikan
kepentingan Negara-negara berkembang. Kenapa hanya dari kalangan dunia maju
yang diangkat sebagai arbiter? Alasannya, agar sesuai dengan ketentuan pasal 14
konvensi dimaksud. Menurut pasal tersebut yang dapat diangkat menjadi arbiter
ialah orang yang memiliki karakter dan moral yang tinggi serta dikenal memiliki
kemampuan yang tinggi di bidang hokum, komersial, industry, dan keuangan.
Sedang orang-orang yang seperti itu kapasitasnya, dianggap belum dijumpai di
dunia ketiga.
Dari pengalaman yang demikian, mendorong
kawasan dunia ketiga untuk mendirikan pusat-pusat arbitrase institusional yang
berwawasan regional. Berkumpullah kelompok ahli-ahli dari dunia ketiga dalam
suatu wadah organisasi yang diberi nama Asia-Africa
Legal Consultative Commette, yang disingkat AALCC yang berkantor pusat di
New Delhi, India. Gerakan kelompok ini berusaha melepaskan diri dari dominasi
ICC dengan jalan mendirikan pusat arbitrase sendiri.
Sebagai lanjutan usaha mendirikan pusat
arbitrase regional bagi kawasan dunia ketiga, pada tahun 1978 diadakan pertemuan
di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada pertemuan siding tersebut AALCC berhasil
merealisasikan berdirinya pusat arbitrase untuk kawasan Asia yang berkedudukan
di Kuala Lumpur. Perkembangan selanjutnya, pada pertemuan tahun 1979 berhasil
pula didirikan pusat arbitrase regional untuk kawasan Negara-negara Afrika yang
berkedudukan di Kairo, Mesir.
Tampaknya, tujuan utama mendirikan
pusat-pusat badan arbitrase regional oleh AALCC dimaksudkan untuk melepaskan
diri dari dominasi ICC. Bukan untuk memencilkan diri dari pergaulan dunia
internasional. Juga bukan hendak memaksakan penerapan sistem tata hukum
nasional atau regional. Sama sekali tidak demikian. Hal ini terbukti dari
pernyataan yang dikeluarkan oleh AALCC pada tahun 1978 di Kuala Lumpur. Dalam
pernyataan tersebut secara tegas ditetapkan bahwa pusat-pusat badan arbitrase
regional yang didirikan AALCC tunduk dan mempergunakan ketentuan yang diatur
dalam UNCITRAL Arbitration Rules yang dikeluarkan PBB. Yang diinginkan adanya
keseimbangan antar pusat arbitrase internasional yang terdapat di dunia maju
yang mereka anggap terlampau berorientasi secara sentries memihak membea
dominasi dan kepentingan Negara-negara maju. Maka dengan didirikan pusat-pusat
arbitrase regional kawasan Asia dan Afrika, membuka alternative bagi
negara-negara dunia ketiga mengajukan proposal dalam setiap perjanjian agar penyelesaian
perselisihan diberikan kewenangannya kepada pusat arbitrase regional.
Cita-cita dan perjuangan AALCC membentuk
pusat-pusat arbitrase regional tampaknya berat. Belum tentu dapat diterima
masyarakat dunia ketiga sendiri, apalagi oleh dunia maju. Kita belum berani
mengatakan apakah cita-cita dan perjuangannya telah menemukan titik
keseimbangan antara kekuasaan dan kepopuleran pusat-pusat arbitrase internasional
dengan regional. Juga belum terdapat fakta dan tanda-tanda berkurangnya
dominasi pusat-pusat arbitrase internasional setelah didirikan pusat arbitrase
regional. Barangkali kita masih diliputi prasangka yang sulit untuk dipungkiri
kebenarannya, bahwa setiap usul yang diajukan pihak yang datang dari dunia
ketiga agar mempergunakan jasa-jasa pusat arbitrase regional dalam
menyelesaikan perselisihan, pasti akan ditentang pihak mitra dari dunia maju.
Sekurang-kurangnya akan disambut dengan enggan dan kurang simpatik. Malahan
mungkin akan ngotot mempertahankan jasa pusat arbitrase internasional. Apabila
terjadi saling ngotot, dapat diduga pasti keinginan pihak dunia maju yang
menang. Dengan segala dominasi dan keunggulan yang dimilikinya, memaksa mitra
yang datang dari dunia ketiga terpaksa menerima dan menyetujuinya, sebab berada
dalam segala macam keserbalemahan. Lemah kedudukan, kemampuan, pengalaman, dan
keterampilan.
Barangkali faktor-faktor yang disebutkan
di atas sangat mempengaruhi peran pusat arbitrase regional. Sampai sekarang
kita belum mendengar kemasyhuran dan kapasitas pusat arbitrase regional Kuala
Lumpur dan Kairo. Tampaknya kepercayaan pihak dunia maju terhadap arbitrase
regional masih belum sepadan dengan yang mereka berikan kepada arbitrase
internasional. Meskipun pusat arbitrase regional secara tegas menyatakan
memberi jaminan menarik simpati dan kepercayaan dunia maju terhadap pusat-pusat
arbitrase regional. Menurut hemat kita, salah satu upaya yang dapat
meningkatkan derajat itu sendiri. Antara lain, keberanian mereka untuk menolak
setiap perjanjian dengan dunia maju apabila mitra yang datang dari sana tidak
mau menyetujui penggunaan jasa pusat arbitrase regional. Memang keberanian yang
seperti itu sangat berat. Tapi harus dimulai, jika benar-benar ingin terlepas
dari dominasi pusat arbitrase internasional. Hal lain, kesediaan masyarakat
bisnis dunia ketiga untuk mempergunakan jasa arbitrase regional di antara
sesama mereka pada setiap perjanjian.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Jenis-jenis arbitrase :
1. Arbitrase
Ad Hoc ( Ad Hoc Arbitration ), yaitu arbitrase perorangan atau arbitrase
volunteer. Dalam pasal 615 Rv ayat (1) ialah arbitrase yang dibentuk khusus
untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu.
2. Arbitrase
institusional ( instituutional arbitration ) merupakan lembaga atau badan
arbitrase yang bersifat “permanen”. Oleh
karena arbitrase institusional merupakan badan yang bersifat permanen, disebut
juga permanent arbitral body. Nama itulah yang diberikan pasal 1 ayat ( 2 )
Konvensi New York 1958 terhadap arbitrase institusional.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, M.Yahya. 2003.
Arbitrase. Jakarta : Sinar Grafika