Konsep kesetaraan gender (gender equality) memiliki konsep dan
bangunan dasar bahwa perempuan memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki yang
dipengaruhi oleh kondisi sosial, agama, dan hukum, serta faktor2 lainnya yang
berlaku dalam suatu masyarakat di mana konsep ini berdasarkan tuntutanan
nilai-nilai hak asasi manusia secara universal, tanpa mendasarkan pada teks
agama. kesetaraan gender barat menuntut pembebasan dari penindasan yang
dilakukan kepada perempuan dalam berbagai aspek, misalnya sosial, terutama
aspek ekonomi dan politik.
Hal ini terjadi karena sejarah mencatat, dari zaman Yunani, Romawi, abad pertengahan, hingga abad pencerahan sekalipun, perempuan dianggap sebagai makhluk inferior, cacat, sumber kejahatan dan dosa. Awalnya, para feminis menggunakan istilah hak dan kesetaraan dalam konsep gender, kemudian pada tahun 1960an menggunakan istilah penindasan dan kebebasan, lalu pada sekita tahun 1977 istilah gender equality muncul, bukan persoalan sex yang merujuk pada anatomi biologis manusia, tetapi lebih pada bahwa gender dipengaruhi oleh kondisi sosial, agama dan hukum yang berlaku di masyarakat serta faktor-faktor lainnya.
Hal ini terjadi karena sejarah mencatat, dari zaman Yunani, Romawi, abad pertengahan, hingga abad pencerahan sekalipun, perempuan dianggap sebagai makhluk inferior, cacat, sumber kejahatan dan dosa. Awalnya, para feminis menggunakan istilah hak dan kesetaraan dalam konsep gender, kemudian pada tahun 1960an menggunakan istilah penindasan dan kebebasan, lalu pada sekita tahun 1977 istilah gender equality muncul, bukan persoalan sex yang merujuk pada anatomi biologis manusia, tetapi lebih pada bahwa gender dipengaruhi oleh kondisi sosial, agama dan hukum yang berlaku di masyarakat serta faktor-faktor lainnya.
Bahkan, Lips
dalam A New Psychology of Women (2003)
menjelaskan bahwa gender bukan hanya feminin dan maskulin, tetapi juga masalah
homoseksual.
Tidak ada konsep yang final mengenai
kesetaraan gender. Munculnya istilah kesetaraan gender dalam Islam juga karena
beberapa pemikir liberal yang menggagas, karena sebagian besar umat Islam tidak
sepakat adanya konsep kesetaraan gender.
Tetapi sejatinya ada beberapa poin yang menjadikan landasan bahwa Islam
juga mengusung isu kesetaraan gender, yang jelas mendasarkan pada teks-teks
agama Islam, bukan mendasarkan pada nilai-nilai universal HAM.
Misalnya Husein Muhammad, memandang
bahwa bahwa laki-laki dan perempuan dituntut untuk bekerjasama melakukan
peran-peran social, kebudayaan dan politik dalam maknanya yang luas. Hal ini
dijelaskan dalam (Q.S. al-Taubah, [9]:71; Orang-orang yang percaya kepada Tuhan
Yang Maha Esa, laki-laki dan perempuan saling membantu dalam kerja-kerja
mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran…”
Lagi-lagi tafsir Islam yang mendukung
kesetaraan gender banyak ditentang kalangan umat Islam lainnya. Bahkan banyak
teks-teks Islam yang menunjukkan bahwa Islam merupakan kontra kesetaraan
gender, misalnya dalam hal pembatasan pakaian antara laki-laki perempuan,
pembagian waris antara laki-laki dan perempuan 2 berbanding 1 yang jelas hal
ini merupakan diskriminatif dan anti-kesetaraan gender.
Namun jika dilacak dalam sejarah Islam sendiri, Islam
sangat menjunjung tinggi kehormatan perempuan di mana sebelum Islam datang,
perempuan menjadi makhluk yang tak berharga. Islam dalam memandang kesetaraan
gender berkutat pada pertama: historisitas Islam yang menjunjung tinggi martabat
perempuan dan kedua, teks-teks Islam (al-quran dan hadits) yang menegaskan
bahwa kesetaraan bukan dalam konsep kelamin yang itu merupakan kodrat perempuan
dan laki-laki, tetapi lebih kepada peran, hak, dan tanggung jawab perempuan yang
menuntut kesetaraan sesuai dengan sifatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar