Minggu, 14 Juni 2015

gender menurut barat

Konsep kesetaraan gender menurut Barat
Konsep kesetaraan gender (gender equality) memiliki konsep dan bangunan dasar bahwa perempuan memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki yang dipengaruhi oleh kondisi sosial, agama, dan hukum, serta faktor2 lainnya yang berlaku dalam suatu masyarakat di mana konsep ini berdasarkan tuntutanan nilai-nilai hak asasi manusia secara universal, tanpa mendasarkan pada teks agama. kesetaraan gender barat menuntut pembebasan dari penindasan yang dilakukan kepada perempuan dalam berbagai aspek, misalnya sosial, terutama aspek ekonomi dan politik. 

Hal ini terjadi karena sejarah mencatat, dari zaman Yunani, Romawi, abad pertengahan, hingga abad pencerahan sekalipun, perempuan dianggap sebagai makhluk inferior, cacat, sumber kejahatan dan dosa. Awalnya, para feminis menggunakan istilah hak dan kesetaraan dalam konsep gender, kemudian  pada tahun 1960an menggunakan istilah penindasan dan kebebasan, lalu pada sekita tahun 1977 istilah gender equality muncul, bukan persoalan sex yang merujuk pada anatomi biologis manusia, tetapi lebih pada bahwa gender  dipengaruhi oleh kondisi sosial, agama dan hukum yang berlaku di masyarakat serta faktor-faktor lainnya.

Bahkan, Lips dalam A New Psychology  of Women (2003) menjelaskan bahwa gender bukan hanya feminin dan maskulin, tetapi juga masalah homoseksual.

Tidak ada konsep yang final mengenai kesetaraan gender. Munculnya istilah kesetaraan gender dalam Islam juga karena beberapa pemikir liberal yang menggagas, karena sebagian besar umat Islam tidak sepakat adanya konsep kesetaraan gender.  Tetapi sejatinya ada beberapa poin yang menjadikan landasan bahwa Islam juga mengusung isu kesetaraan gender, yang jelas mendasarkan pada teks-teks agama Islam, bukan mendasarkan pada nilai-nilai universal HAM.

Misalnya Husein Muhammad, memandang bahwa bahwa laki-laki dan perempuan dituntut untuk bekerjasama melakukan peran-peran social, kebudayaan dan politik dalam maknanya yang luas. Hal ini dijelaskan dalam (Q.S. al-Taubah, [9]:71; Orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, laki-laki dan perempuan saling membantu dalam kerja-kerja mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran…”

Lagi-lagi tafsir Islam yang mendukung kesetaraan gender banyak ditentang kalangan umat Islam lainnya. Bahkan banyak teks-teks Islam yang menunjukkan bahwa Islam merupakan kontra kesetaraan gender, misalnya dalam hal pembatasan pakaian antara laki-laki perempuan, pembagian waris antara laki-laki dan perempuan 2 berbanding 1 yang jelas hal ini merupakan diskriminatif dan anti-kesetaraan gender.

Namun jika dilacak dalam sejarah Islam sendiri, Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan perempuan di mana sebelum Islam datang, perempuan menjadi makhluk yang tak berharga. Islam dalam memandang kesetaraan gender berkutat pada pertama: historisitas Islam yang menjunjung tinggi martabat perempuan dan kedua, teks-teks Islam (al-quran dan hadits) yang menegaskan bahwa kesetaraan bukan dalam konsep kelamin yang itu merupakan kodrat perempuan dan laki-laki, tetapi lebih kepada peran, hak, dan tanggung jawab perempuan yang menuntut kesetaraan sesuai dengan sifatnya.

JENIS ARBITRASE



BAB II
PEMBAHASAN

A.    JENIS ARBITRASE
      Yang dimaksud dengan jenis arbitrase ialah macam-macam arbitrase yang diakui eksistensi dan kewenangannya untuk memeriksa dan memutus perselisihan yang terjadi antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Jenis arbitrase yang diakui dan memiliki validitas, diatur dan disebut dalam peraturan dan berbagai konvensi. Dengan demikian, pembicaraan tentang eksistensi jenis arbitrase, tidak hanya bertitik tolak dari Rv, tapi juga merujuk kepada Convention of The Settlement of Investment Disputes Between States and National of Other States, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbital Awards serta UNCITRAL Arbitration Rules.
      Malahan sekiranya pembicaraan jenis arbitrase semata-mata bertitik tolak dari ketentuan Rv, sebagaimana yang diatur Pasal 615 ayat (1), kita hanya mengenal satu jenis saja lembaga arbitrase. Terasa aturan Rv tersebut ketinggalan dinamika, jika dibandingkan dengan jenis arbitrase yang diperkenalkan oleh konvensi-konvensi yang dikemukakan.
1.      Arbitrase Ad Hoc (Ad Hoc Arbitration)
      Jenis arbitrase ad hoc disebut juga “arbitrase volunter” atau “arbitrasi perorangan pasal 615 Rv ayat (1) tampaknya hanya mengenal lembaga arbitrase ad hoc. Pengertian arbitrase ad hoc ialah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Dengan demikian, kehadiran dan keberadaan arbitrase ad hoc bersifat “insidentil”. Kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus kasus perselisihan tertentu. Selesai sengketa diputus, keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
      Untuk mengetahui dan menentukan apakah arbitrase yang disepakati para pihak adalah jenis arbitrase ad hoc, dapat dilihat dari rumusan klausula. Apabila klausula pactum de compromittendo atau akta kompromis menyatakan perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase yang berdiri sendiri di luar arbitrase “institusional”. Dengan kata lain apabila klausula menyebut arbitrase yang akan menyelesaikan perselisihan terdiri dari “arbiter perseorangan” maka arbitrase yang disepakati adalah jenis arbitrase ad hoc. Ciri pokoknya penunjukan para arbiternya adalah secara perseorangan.
      Arbitrase ad hoc oleh pasal 1 ayat (1) Konvensi New York 1958 dirumuskan dengan istilah arbitrators appointed for each case yang bermakna: arbiter yang ditunjuk untuk kasus tertentu untuk kasus tertentu untuk satu kali penunjukan. Dalam ketentuan ini jelas dapat dilihat sifat insidentil yang melekat pada arbitrase ad hoc. Hal itu dapat disimak dari perkataan appointed for each case. Penunjukan dan keberadaannya adalah kasus per kasus. Fungsi dan kewenangannya bersifat “satu kali” atau een malig.
      Pada prinsipnya arbitrase ad hoc tidak terikat dan terkait dengan salah satu badan arbitrase. Pada arbiternya ditentukan dan dipilih sendiri berdasar kesepakatan para pihak. Oleh karena jenis arbitrase ad hoc tidak terkait dengan salah satu badan arbitrase, boleh dikatakan jenis arbitrase ini tidak memiliki aturan tata cara tersendiri baik mengenai pengangkatan para arbiter maupun mengenai tata cara pemeriksaan sengketa. Dalam hal ini arbitrase ad hoc tunduk sepenuhnya mengikuti aturan tata cara yang ditentukan dalam perundang-undangan. Arbitrase ad hoc yang ditunjuk di Indonesia tunduk mengikuti tata cara pengangkatan dan pemeriksaan sengketa yang diatur dalam ketentuan Rv. Begitu juga misalnya arbitrase ad hoc yang ditunjuk di Singapura, harus berpedoman kepada ketentuan perundang-undangan arbitrase Singapura. Akan tetapi prinsip tersebut tidak mengurangi kemungkinan arbitrase ad hoc tunduk pada suatu rules atau konvensi tertentu, apabila para pihak menghendaki. Misalnya para pihak sepakat menyerahkan penyelesaian kepada arbitrase ad hoc, tapi aturan yang dipakai ialah UNCITRAL Arbitration Rules atau ICC Rules (International Chamber of Commerce). Dalam kasus yang seperti itu, arbitrasenya bersifat ad hoc, namun aturan tata cara dan penunjukan arbiter maupun proses pemeriksaan tunduk kepada aturan UNCITRAL atau ICC. Tetapi arbitrasenya tidak tunduk kepada suatu badan arbitrase institusional tertentu.
      Mengenai cara penunjukan arbiter dalam arbitrase ad hoc dapat dilakukan sendiri atas kesepakatan para pihak. Jika arbiternya tunggal, pengangkatannya atas persetujuan bersama. Apabila arbiternya lebih dari seorang, masing-masing pihak menunjuk seorang anggota, dan penunjukan arbiter yang ketiga dapat dilakukan atas kesepakatan atau menyerahkan kepada kesepakatan arbiter yang telah ditunjuk para pihak. Selain dari cara penunjukan arbiter yang disebutkan diatas, boleh juga para pihak menyerahkan kepada Pengadilan Negeri. Jika cara ini yang mereka tempuh, hakim berwenang mengangkat arbiter yang diminta salah satu pihak berdasar ketentuan pasal 619 Rv.
2.      Arbitrase Institusional
      Abitrase Institusional (institusional arbitration) merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat “permanen”. Oleh karena arbitrase institusional merupakan badan yang bersifat permanen, disebut juga permanent arbitral body . Nama itulah yang diberikan pasal 1 ayat (2) Konvensi New York 1958 terhadap arbitrase institusional.
a.      Sengaja Didirikan
      Arbitrase   institusional    ialah badan arbitrase yang sengaja didirikan. Pembentukannya ditujukan untuk menangani sengketa yang timbul bagi mereka yang menghendaki penyelesaian di luar pengadilan. Ia merupakan wadah yang sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Pihak-pihak yang ingin penyelesaian permasalahan mereka dilakukan oleh arbitrase, dapat menjanjikan akan diputus oleh arbitrase institusional.
      Faktor kesengajaan dan sifat permanen yang melekat pada arbitrase institusional, merupakan ciri pembeda badan ini dengan arbitrase ad hoc. Ciri lain, arbitrase institusional sudah ada berdiri sebelum sengketa timbul. Sedang arbitrase ad hoc, selain sifatnya insidentil, untuk menangani suatu kasus tertentu, baru dibentuk setelah perselisihan timbul.
      Perbedaan lain, arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya, dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus. Sebaliknya, arbitrase ad hoc bubar dan berakhir keberadaannya setelah sengketa yang ditangani selesai diputus. Selain daripada hal-hal yang diutarakan, kesengajaan mendirikan arbitrase institusional sebagai badan yang bersifat permanen, sekaligus disusun organisasinya serta ketentuan-ketentuan tentang tata cara pengangkatan arbiter maupun tata cara pengangkatan arbiter maupun tata cara pemeriksaan sengketa.
b.      Arbitrase Institusional yang Bersifat Nasional
      Arbitrase institusional merupakan badan (body) atau lembaga (institusion) yang sengaja didirikan sebagai wadah permanen. Jika kesengajaan pendiriannya hanya untuk kepentingan suatu bangsa atau negara, arbitrase institusional tersebut dinamakan bersifat “nasional”. Ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya meliputi kawasan negara yang bersangkutan. Misalnya arbitrase institusional Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang disingkat BANI, merupakan badan arbitrase yang berwawasan nasional indonesia. Ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya meliputi kawasan wilayah nusantara. Akan tetapi meskipun BANI bersifat nasional, bukan berarti ia hanya berfungsi menyelesaikan sengketa-sengketa yang berkadar nasional. Dia dapat menyelesaikan sengketa-sengketa yang berbobot internasional, asal hal itu diminta dan disepakati oleh para pihak.
      Pada umumnya hampir setiap negara telah memiliki arbitrase institusional yang bersifat nasional, sebagai pusat arbitrase nasional pada negara masing-masing. Semula hanya dijumpai di kawasan negara-negara maju. Tapi belakangan, terutama pada masa akhir-akhir ini telah dijumpai di berbagai kawasan negara-negara berkembang sebagai upaya mengantisipasi perkembangan perekonomian dan teknologi. Untuk sekedar catatan mengenai arbitrase institusional yang bersifat nasional di luar Indonesia, dapat disebut antara lain :
Ø  Nederlands Arbitrage Instituut merupakan pusat arbitrase nasional Belanda, di dalamnya duduk wakil-wakil dari Kamar Dagang Belanda,
Ø  The Japan Commercial Arbitration Association, sebagai pusat arbitrase nasional Jepang di lingkungan Kamar Dagang dan industri Jepang.
Ø  The American Arbitration Association, merupakan arbitrase institusional nasional yang didirikan di negara Amerika Serikat yang pendiriannya didukung oleh Kamar Dagang Amerika.
Ø  The British Institute of Arbitrators, sebagai pusat arbitrase internasional negara Inggris.

c.       Arbitrase Institusional yang bersifat Internasional
      Di samping arbitrase institusional yang bersifat nasional, ada juga arbitrase institusional yang berwawasan internasional. Bahkan badan-badan arbitrase internasional yang ada sudah lama didirikan. Salah satu badan arbitrase internasional yang tertua antara lain Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce yang disingkat ICC. Badan ini didirikan di Paris pada tahun 1919.
      Pada dasarnya badan-badan arbitrase yang berwawasan internasional, merupakan “pusat” perwasitan menyelesaikan persengketaan di bidang masalah tertentu antara para pihak yang berlainan kewarganegaraan di bidang perdagangan pada umumnya.
      Selain daripada ICC, badan-badan arbitrase yang berwawasan internasional yang paling menonjol antara lain:
1)      The International Centre For Settlement of Investment Disputes (ICSID) dan lazim disingkat atau disebut dengan nama “Center”.
Center merupakan badan arbitrase internasional yang lahir dari Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States. Center menjadi pusat arbitrase internasional, khusus untuk menyelesaikan persengketaan “joint venture” atau penanaman modal antara suatu negara dengan warga negara asing. Didirikan pada tanggal 16 Februari 1968. Pendiriannya diprakarsai oleh World Bank (Bank Dunia) yang berpusat dan berkedudukan di Washington, Amerika Serikat. Tujuan pembentukannya untuk melaksanakan ketentuan Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States. Dan dengan UU No.5 Tahun 1968, Indonesia termasuk salah satu negara anggota konvensi. Pada bagian preamble, konvensi tersebut menjelaskan antara lain , didirikannya center (ICSID) merupakan kebutuhan kerja sama internasional (the need for international cooperation) dalam perkembangan perekonomian dan sebagai aturan main dalam penanaman modal (investment) sektor swasta.
2)      UNCITRAL Arbitration Rules ( United Nations Commision on International Trade Law ) yang lazim disingkat dengan UAR.
Rules arbitrase ini lahir berdasar resolusi siding umum PBB pada tanggal 15 Desember 1976. Resolusi tersebut berisi anjuran kepada dunia arbitrase agar dalam melaksanakan kegiatan arbitrase dipergunakan dan diterapkan UNCITRAL Arbitration Rules. UNCITRAL Arbitration Rules disusun oleh panitia PBB yang berisi peraturan mengenai arbitrase yang dianggap dapat diterima oleh segala pihak masyarakat internasional yang system hokum sosialnya berbeda. Indonesia termasuk salah satu Negara yang ikut menandatangani resolusi. Dengan demikian rules tersebut sudah termasuk system tata hukum nasional Indonesia. 
Resolusi PBB yang melahirkan UNCITRAL Arbitration Rules adalah resolusi 31/98 tanggal 15 Desember 1976. Isi resolusi tersebut antara lain, mengakui manfaat arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian persengketaan yang timbul dalam hubungan perdagangan internasional (Recognizing the value of arbitration as a method of settling disputes arising in the context of international commercial relations ). Selanjutnya resolusi tersebut menyatakan, sangat perlu dan dibutuhkan menetapkan suatu hokum yang khusus mengatur arbitrase yang dapat diterima oleh Negara-negara yang berbeda system hokum social dan ekonominya sebagai sumbangan yang memiliki arti penting bagi harmonisasi hubungan perkembangan ekonomi internasional.
d.      Arbitrase Institusional yang Bersifat Regional
Barangkali ada kecenderungan dan anggapan dari kalangan Negara dunia ketiga yang masih tergolong masyarakat yang sedang berkembang, putusan yang dijatuhkan badan arbitrase internasional yang berpusat di Negara Barat, sangat didominasi oleh kepentingan Negara-negara maju. Seolah-olah putusan-putusan yang diambil badan arbitrase internasional yang notabene anggota arbiternya selalu diangkat dari kalangan Negara-negara maju itu sendiri, dirasakan lebih memihak dan membela kepentingan Negara-negara maju. Misalnya, putusan-putusan yang dijatuhkan Court of the International Chamber of Commerce (ICC) yang berkedudukan di Paris, mungkin sering dirasakan oleh dunia ketiga terlampau memihak dan membela kepentingan Negara maju apabila terjadi perselisihan antara warga Negara dengan warga Negara dunia ketiga. Anggapan sedemikian dapat diterima atas berbagai alas an. Biasanya anggota arbiter yang diangkat selalu dari kalangan Negara maju, yang mengakibatkan pandangan, falsafah, dan system tata hukum yang diterapkan cenderung Eropa sentris. Akibatnya, kurang memahami dan memperhatikan kepentingan Negara-negara berkembang. Kenapa hanya dari kalangan dunia maju yang diangkat sebagai arbiter? Alasannya, agar sesuai dengan ketentuan pasal 14 konvensi dimaksud. Menurut pasal tersebut yang dapat diangkat menjadi arbiter ialah orang yang memiliki karakter dan moral yang tinggi serta dikenal memiliki kemampuan yang tinggi di bidang hokum, komersial, industry, dan keuangan. Sedang orang-orang yang seperti itu kapasitasnya, dianggap belum dijumpai di dunia ketiga.
      Dari pengalaman yang demikian, mendorong kawasan dunia ketiga untuk mendirikan pusat-pusat arbitrase institusional yang berwawasan regional. Berkumpullah kelompok ahli-ahli dari dunia ketiga dalam suatu wadah organisasi yang diberi nama Asia-Africa Legal Consultative Commette, yang disingkat AALCC yang berkantor pusat di New Delhi, India. Gerakan kelompok ini berusaha melepaskan diri dari dominasi ICC dengan jalan mendirikan pusat arbitrase sendiri.
      Sebagai lanjutan usaha mendirikan pusat arbitrase regional bagi kawasan dunia ketiga, pada tahun 1978 diadakan pertemuan di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada pertemuan siding tersebut AALCC berhasil merealisasikan berdirinya pusat arbitrase untuk kawasan Asia yang berkedudukan di Kuala Lumpur. Perkembangan selanjutnya, pada pertemuan tahun 1979 berhasil pula didirikan pusat arbitrase regional untuk kawasan Negara-negara Afrika yang berkedudukan di Kairo, Mesir.
      Tampaknya, tujuan utama mendirikan pusat-pusat badan arbitrase regional oleh AALCC dimaksudkan untuk melepaskan diri dari dominasi ICC. Bukan untuk memencilkan diri dari pergaulan dunia internasional. Juga bukan hendak memaksakan penerapan sistem tata hukum nasional atau regional. Sama sekali tidak demikian. Hal ini terbukti dari pernyataan yang dikeluarkan oleh AALCC pada tahun 1978 di Kuala Lumpur. Dalam pernyataan tersebut secara tegas ditetapkan bahwa pusat-pusat badan arbitrase regional yang didirikan AALCC tunduk dan mempergunakan ketentuan yang diatur dalam UNCITRAL Arbitration Rules yang dikeluarkan PBB. Yang diinginkan adanya keseimbangan antar pusat arbitrase internasional yang terdapat di dunia maju yang mereka anggap terlampau berorientasi secara sentries memihak membea dominasi dan kepentingan Negara-negara maju. Maka dengan didirikan pusat-pusat arbitrase regional kawasan Asia dan Afrika, membuka alternative bagi negara-negara dunia ketiga mengajukan proposal dalam            setiap   perjanjian         agar     penyelesaian perselisihan diberikan kewenangannya kepada pusat arbitrase regional.
      Cita-cita dan perjuangan AALCC membentuk pusat-pusat arbitrase regional tampaknya berat. Belum tentu dapat diterima masyarakat dunia ketiga sendiri, apalagi oleh dunia maju. Kita belum berani mengatakan apakah cita-cita dan perjuangannya telah menemukan titik keseimbangan antara kekuasaan dan kepopuleran pusat-pusat arbitrase internasional dengan regional. Juga belum terdapat fakta dan tanda-tanda berkurangnya dominasi pusat-pusat arbitrase internasional setelah didirikan pusat arbitrase regional. Barangkali kita masih diliputi prasangka yang sulit untuk dipungkiri kebenarannya, bahwa setiap usul yang diajukan pihak yang datang dari dunia ketiga agar mempergunakan jasa-jasa pusat arbitrase regional dalam menyelesaikan perselisihan, pasti akan ditentang pihak mitra dari dunia maju. Sekurang-kurangnya akan disambut dengan enggan dan kurang simpatik. Malahan mungkin akan ngotot mempertahankan jasa pusat arbitrase internasional. Apabila terjadi saling ngotot, dapat diduga pasti keinginan pihak dunia maju yang menang. Dengan segala dominasi dan keunggulan yang dimilikinya, memaksa mitra yang datang dari dunia ketiga terpaksa menerima dan menyetujuinya, sebab berada dalam segala macam keserbalemahan. Lemah kedudukan, kemampuan, pengalaman, dan keterampilan.
      Barangkali faktor-faktor yang disebutkan di atas sangat mempengaruhi peran pusat arbitrase regional. Sampai sekarang kita belum mendengar kemasyhuran dan kapasitas pusat arbitrase regional Kuala Lumpur dan Kairo. Tampaknya kepercayaan pihak dunia maju terhadap arbitrase regional masih belum sepadan dengan yang mereka berikan kepada arbitrase internasional. Meskipun pusat arbitrase regional secara tegas menyatakan memberi jaminan menarik simpati dan kepercayaan dunia maju terhadap pusat-pusat arbitrase regional. Menurut hemat kita, salah satu upaya yang dapat meningkatkan derajat itu sendiri. Antara lain, keberanian mereka untuk menolak setiap perjanjian dengan dunia maju apabila mitra yang datang dari sana tidak mau menyetujui penggunaan jasa pusat arbitrase regional. Memang keberanian yang seperti itu sangat berat. Tapi harus dimulai, jika benar-benar ingin terlepas dari dominasi pusat arbitrase internasional. Hal lain, kesediaan masyarakat bisnis dunia ketiga untuk mempergunakan jasa arbitrase regional di antara sesama mereka pada setiap perjanjian.














BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
      Jenis-jenis arbitrase :
1.      Arbitrase Ad Hoc ( Ad Hoc Arbitration ), yaitu arbitrase perorangan atau arbitrase volunteer. Dalam pasal 615 Rv ayat (1) ialah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu.
2.      Arbitrase institusional ( instituutional arbitration ) merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat  “permanen”. Oleh karena arbitrase institusional merupakan badan yang bersifat permanen, disebut juga permanent arbitral body. Nama itulah yang diberikan pasal 1 ayat ( 2 ) Konvensi New York 1958 terhadap arbitrase institusional.










DAFTAR PUSTAKA
Harahap, M.Yahya. 2003. Arbitrase. Jakarta : Sinar Grafika