BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mahar termasuk keutamaan agama Islam
dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang
dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya
ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus
diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan
oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran
mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan.
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada
mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah shadaqah, nihlah,
dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah mahar
lebih di kenal di masyarakat, terutama di Indonesia.
Dikalangan masyarakat itu terdiri dari keluarga yang
meliputi Bapak, Ibu, dan anak-anaknya. Terbentuknya sebuah keluarga di awali dari
pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Nah dalam melaksanakan acara
pernikahan itu biasanya dirayakan dengan acara yang berbagai macam jenis
tergantung keinginan sang penganten dan adat istiadat setempat.
Acara yang dilaksanakan tersebut dalam ilmu fiqih disebut
“walimah ursy” dalam kehidupan kemasyarakatan banyak berbagai ragam ragam suku
dan kebiasaan yang di anut. Salah satunya acara pernikahan yang merupakan acara
yang sakral pun berbeda-beda bentuk dan kebiasaannya. Namun yang sering kita temui
di kalangan masyarakat kita menemui walimah dilaksanakan dengan bentuk yang
mewah atau besar-besaran. Walaupun kadang-kadang tidak sesuai dengan keadaan
ekonomi keluarga pada saat itu. Maka dari itu, fiqih dengan bijaksana membahas
tentang masalah ini. Agar masyarakat tidak salah dalam penafsirkan walimah ini,
dan agar masyarakat bias lebih memahami dan mendalam tentang walimah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pokok pikiran yang tertuang dalam latar belakang di atas serta
untuk terarahnya makalah ini. Maka masalah yang dibahas dalam makalah ini
adalah
1.
Pengertian
dan Hukum Mahar
2.
Syarat-syarat Mahar
3.
Kadar (jumlah) Mahar
4.
Memberi Mahar Dengan Kontan dan Utang
5.
Macam-macam
Mahar
6.
Bentuk Mahar (Maskawin)
7.
Gugur/Rusaknya Mahar
8.
Pengertian
Walimah & Kedudukan hukum Walimah menurut fiqih
9.
Hukum
Menghadari Undangan Walimah
10.
Hikmah Walimah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Hukum Mahar
Dalam istilah ahli fiqh,disamping perkataan “mahar” juga dipakai perkataan : “shadaq”
, nihlah; dan faridhah” dalam bahasa indonesia dipakai dengan
perkataan maskawin.
Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi,mahar ialah
pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati
calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon
suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya,
baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain
sebagainya).
Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh
seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.
Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat,lalu ia
memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan.Akan
tetapi, bila istri dalam memberi maharnya karena malu, atau takut, maka tidak
halal menerimanya. Allah Swt. Berfirman:
÷bÎ)ur ãN?ur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry c%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% xsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇËÉÈ
20.
dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain [280], sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka
janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu
akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata ?
‘Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang
tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan
isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali
pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
Dalam
ayat selanjutnya, Allah Swt. Berfirman
y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ cõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî ÇËÊÈ
21.
bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (Q.S An-Nisa: 21).
Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya
sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.
Allah berfirman:
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 ÇÍÈ
4.
berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan…..(Q.S
An-Nisa: 4).
Rasulullah
saw. berkata:
عن عمربن ربيعة ان امراة من بنى فزارة
نزوجت على تعلين فقال رسول الله عليه وسلم : ارضيت على تفسك ومالك بنعلين فقالت :
نعم, فأجازه جازه (رواه احمد وابن ماجة واترمذى وصححه )
Dari
‘Amir bin Rabi’ah: “Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazarah kawin
dengan maskawin sepasang sandal. Rasulullah saw. berkata kepada perempuan
tersebut: Relakan engkau dengan maskawin sepasang sandal? Rasulullah saw.
meluruskannya.” (HR Ahmad bin Mazah dan disahihkan oleh Turmudzi)
Sabdanya
lagi:
تزوج ولو بخاتم من حديد ( رواه البخارى
)
“Kawinlah
engkau walaupun dengan maskawin cincin dari besi.” (HR Bukhari)
B. Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon
istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
- Harga berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut mahar.
- Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
- Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah
- Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.
C. Kadar (Jumlah) Mahar
Agama tidak menetapkan jumlah
minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya
mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada
calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu
memberinya.Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang
bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan
menikah untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar Kamal menyabutkan, “janganlah
hendaknya ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi
penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan,” sesuai dengan sabda nabi:
عن سهل ابن سعد ان النبى صلى الله
عليه وسلم جأته امراة فقال : يارسول الله انى وهبت تفسى لك. فقامت قياما طويلا.
فقام رجل فقال: يارسول لله زوجنيها ان لم يكن لك بها حجة, فقال : رسول الله صلى
الله عليه وسلم هل عندك من شيء تصدقها اياها ؟ فقال : ما عندى الا ازارى هذا, فقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : ان اعطيتها ازارك جلست لا ازار لك, فلتمس شيئا,
فقال : ما اجد شيئا, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : التمس ولو خاتم من حديد,
فلتمس ولو يجد شيئا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : هل معك من القرأن شيئ ؟
فقال نعم سورة كذا وسورة وكذا, لسوريسميها. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
قد زوجتكها بما معك من القرأن ( رواه البخارى ومسلم )
“Dari Sahl bin Sa’ad, sesungguhnya
telah datang kepada Rasulullah saw., seorang wanita maka ai berkata: “Ya
Rasulullah! Aku serahkan dengan sungguh-sungguh diriku kepadamu”. Dan, wanita
tersebutberdiri lama sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki, ia berkata: “Ya
Rasulullah saw., kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak berminat
kepadanya”. Maka Rasulullah saw. menjawab: “Adakah engkau mempunyai sesuatu
yang dapat engkau jadikan mahar untuknya? Laki-laki itu berkata: “ Aku tidak
memiliki sesuatu selain sarungku ini”. Nabi saw. berkata: “Jika engkau berikan
sarungmu (sebagai mahar) tentulah kamu duduk tanpa sarung, maka carilah sesuatu
(yang lain)”. Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak mendapatkan apa-apa.” Nabi
berkata: “Carilah, walaupun sebuah cincin besi”. Kemudian ia mencarinya lagi,
tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apa pun. Maka, Rasulullah saw. bersabda:
“adakah engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Qur’an?” Laki-laki tersebut berkata:
“Ada surat ini, dan surat ini” sampai kepada surat yang disebutkannya. Nabi
saw. berkata: “Engkau telah aku nikahkan dengan dia dengan maskawin (mahar)
Al-Qur’an yang engkau hafal” (HR Bukhari dan Muslim).
Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah
dari kalangan Tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya.
Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan
mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut
Imam Malik.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya.
Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit
seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan
barang yang sebanding berat emas perak tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh
dirham. Riwayat yang lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang
mengatakan empat puluh dirham.
Pangkal silang pendapat ini, menurut Ibnu Rusydi, terjadi karena dua hal,
yaitu:
- Ketidak jelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuan. Demikian itu, karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi, ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka hal itu mirip dengan ibadah.
- Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan mahfum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.
Mereka berpendapat
bahwa sabda Nabi Saw., “nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi” adalah
dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang
ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.
D.
Memberi
Mahar Dengan Kontan dan Utang
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau
dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka
disunahkan membayar sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw:
عن ابن عباس عن النبى صلى الله عليه وسلم منع عليا ان يدخل
بفاطمة حتى يعطيها شيئ , فقال : ماعندى شيء, فقال : فاين درك الحطمية : فأعطاه
اياه ( رواه ابو دا ودو النسائى والحاكم وصححه )
“Dari
Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali menggauli Fatimah sampai memberikan
sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya:
Dimana baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah.” (HR Abu Dawud, Nasa’i dan
dishahihkan oleh Hakim).
Hadis diatas menunjukkan bahwa
larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik, dan secara hukum
dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu.
Dalam hal penundaan pembayaran mahar (diutang) terdapat dua perbedaan pendapat
dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak
boleh diberikan dengan cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan
bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar
sebagian mahar di muka manakala akan menggauli istri. Dan diantara fuqaha yang
membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkannya hanya
untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat Imam
Malik.
E.
Macam-macam
Mahar
Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu:
a. Mahar Musamma
Mahar Musamma, yaitu mahar
yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.Atau,
mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.
Ulama fikih sepakat bahwa,dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus
diberikan secara penuh apabila:
1) Telah bercampur (bersenggama).
Tentang hal ini Allah Swt. Berfirman:
÷bÎ)ur ãN?ur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry c%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% xsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇËÉÈ
20. dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang
lain [280], sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka
harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang
Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?
“Maksudnya Ialah: menceraikan isteri
yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia
menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta
kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
2) Salah satu dari suami istri
meninggal. Dengan demikian menurut ijma’.
Mahar
musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampurdengan
istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti ternyata
istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari
bekas suami lama.Akan tetapi, kalau
istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengah, berdasarkan
firman Allah Swt.:
bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpÒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù HÇËÌÐÈ
237. jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya,
Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu,(Qs Al-Baqarah: 237).
b.Mahar Mitsli (Sepadan)
Mahar Mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat
sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan)
dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agakjauh dari
tetangga sekitarnya, dengan memerhatikan status sosial, kecantikan, dan
sebagainya.
Bila terjadi demikian (mahar itu disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau
ketika terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara
perempuanpengantin wanita (bibi, bude), uwa perempuan(Jawa Tengah/Jawa Timur), ibu
uwa (Jawa Banten) , anak, perempuan, bibi/bude). Apabila tidak ada, mahar mitsli
itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar Mitsli Juga Terjadi Dalam
Keadaan Sebagai Berikut:
1.
.Apabila
tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah,
kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2.
.Jika
mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan
ternyata nikahnya tidak sah.
Nikah yang tidak
disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwid. Hal ini menurut
jumhur ulama dibolehkan.
Firman
Allah Swt,:
w yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊÌøÿs? £`ßgs9 ZpÒÌsù 4 ÇËÌÏÈ
236. tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum
kamu menentukan maharnya. (Al-Baqarah:236)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya
sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah maharnya tertentu kepada
istrinya itu.
F.
Bentuk
Mahar (Maskawin)
Pada prinsipnya maskawin harus
bermanfaat dan bukanlah sesuatu yang haram dipakai, dimiliki, atau dimakan. Ibn
Rusyd mengatakan bahwa mahar harus berupa sesuatu yang dapat ditukar dan ini
terkesan harus berbentuk benda sebab selain berbentuk benda tidak dapat ditukar
tampaknya tidak dibolehkan. Namun, menurut Rahmat Hakim, sesuatu yang
bermanfaat tidak dinilai dengan ukuran umum, tetapi bersifat subjektif sehingga
tidak selalu dikaitkan dengan benda. Dalam hal ini, calon istri mempunyai hak
untuk menilai dan memilihnya, ini sangat kondisional. Artinya, dia mengetahui
siapa dia dan siapa calon suami.
G. Gugur/Rusaknya Mahar
Mahar yang rusak bisa terjadi karena
barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang tersebut, seperti tidak
diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu
seperti khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya
disamakan dengan jual beliyang mengandung lima persoalan pokok, yaitu:
a.
Barangnya tidak boleh dimiliki;
b. Mahar digabungkan dengan jual beli;
c.
Penggabungan mahar dengan pemberian;
d. Cacat pada mahar; dan
e.
Persyaratan dalam mahar.
Dalam hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti: khamar,
babi, dan buah yang belum masak atau unta yang lepas, Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa akad nikahnya tetap sah apabila telah memenuhi mahar mitsli.
Akan tetapi, Imam Malik berpendapat tentang dua riwayat yang berkenaan dengan
persoalan ini. Pertama, akad nikahnya rusak dan harus dibatalkan (fasakh),
baik sebelum maupun sesudah dukhul. Pendapat ini juga dikemukakan
oleh Abu Ubaid. Kedua, apabila telah dukhul, maka akad nikah
menjadi tetap dan istri memperoleh mahar mitsli.
Mengenai penggabungan mahar dengan jual beli, ulama fikih berbeda pendapat
seperti: jika pengantin perempuan memberikan hamba sahaya kepada pengantin
laki-laki, kemudian pengantin laki-laki memberikan seribu dirham untuk membayar
hamba dan sebagai mahar, tanpa menyebutkan mana yang sebagai harga dan mana
yang sebagai mahar, maka Imam Malik dan Ibnul Qasim melarangnya, seperti juga
Abu Saur.Akan tetapi Asyab dan Imam Abu Hanifah membolehkan, sedangkan Abu Ilah
mengadakan pemisahan dengan mengatakan bahwa apabila dari jual beli tersebut
masih terdapat kelebihan sebesar seperempat dinar ke atas, maka cara seperti
itu dibolehkan.
Tentang penggabungan mahar dengan pemberian, ulama juga berselisih pendapat,
misalnya dalam hal seseorang yang menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa
pada mahar yang diberikannya terdapat pemberian untuk ayahnya (perempuan itu).
Perselisihan itu terbagi dalam tiga pendapat.
Imam Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan bahwa syarat tersebut dapat
dibenarkan dan maharnya pun sah. Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar itu rusak,
dan istrinya memperoleh mahar mitsli. Adapun Imam Malik berpendapat
bahwa apabila syarat itu dikemukakan ketika akad nikah, maka pemberian itu
menjadi milik pihak perempuan, sedangkan apabila syarat itu dikemukakan setelah
akad nikah, maka pemberiannya menjadi milik ayah.
Mengenai cacat yang terdapat pada mahar, ulama fiqih juga berbeda pendapat.
Jumhur ulama mengatakan bahwa akad nikah tetap terjadi. Kemudian, mereka
berselisih pendapat dalam hal apakah harus diganti dengan harganya, atau dengan
barang yang sebanding, atau juga mahar mitsli.
Imam Syafi’i terkadang menetapkan
harganya dan terkadang menetapkan mahar mitsli. Imam Malik dalam satu pendapat
menetapkan bahwa harus meminta harganya, dan pendapat lain minta barang yang
sebanding. Sedangkan Abu Hasan Al-Lakhimi berkata,”Jika dikatakan, diminta
harga terendahnya atau mahar mitsli, tentu lebih cepat. Adapu Suhnun mengatakan
bahwa nikahnya batal.
Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepasdari kewajiban untuk membayar mahar
seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri,
misalnya istri keluar dari Islam, atau mem-fasakh karena suami miskin atau
cacat, atau karena perempuan tersebutsetelah dewasa menolak dinikahkan dengan
suami yang dipilih oleh walinya, Bagi istri seperti ini, hak pesangon gugur
karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu darinya.
Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri, yang belum digauli, melepaskan
maharnya atau menghibahkan padanya. Dalam hal seperti ini, gugurnya mahar
karena perempuan sendiriyang menggugurkannya. Sedangkan mahar sepenuhnya berada
dalam kekuasaan perempuan.
H. Pengertian walimah
Walimah (١ﻠﻭﻠﻴﻤﺔ) artinya
al-jam’u. kumpul, sebab suami dan istri berkumpul. Walimah (١ﻠﻭﻠﻴﻤﺔ) berasal dari
bahasa arab ١ﻠﻭﻠﻴﻡ artinya makanan pengantin. Maksudnya
adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Bias juga
di artikan sebagai makanan untuk tamu undangan atau lainnya.
Walimah diadakn ketika acara akad nikah berlangsung, atau
sesudahnya, atau ketika hari perkawinan atau sesudah itu. Bias juga diadakan
tergantung adat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
I.
Kedudukan
hukum
1.
Dasar hukum walimah
Jumhur ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya “
sunnah muakad “. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah SAW.
ﻋﻥ١ﻨﺱﻘﺍﻝﻤﺍﺍﻭﻠﻡﺭﺴﻭﻝﺍﻠﻠﻪﺼﻠﻰﺍﷲﻋﻠﻴﻪﻭﻠﻡﻋﻠﻰﺸﻱﺀﻤﻥﻨﺴﺍﻨﻪﻤﺍﺍﻭﻠﻡﻋﻠﻰﺯﻴﻨﺏﺍﻭﻠﻡﺒﺸﺍﺓ(ﺭﻭ١ﻩﺍﻠﺒﺨﺍﺭﻰﻭﻤﺴﻠﻡ)
Artinya
: Dan Annas, ia berkata “Rasulullah SAW mengadakan walimah dengan seekor
kambing untuk istri-istrinya dan untuk zainab.
ﺍﻥﻪﻻﻴﺩﻠﻠﻌﺭﺴﻰﻤﻥﻭﻠﻴﻤﺔ(ﺭﻭﺍﻩﺍﺤﻤﺩ)
Artinya:
sesungguhnya untuk pesta perkawinan harus ada walimahnya.
ﺍﻨﻪﺼﻝ١ﷲﻋ١ﻴﻪﻭﺴﻠﻡﻡﺍﻭﻠﻡﻭﻠﻡﻋﻠﻰﺒﻌﺽﻨﺴﺍﻨﻪﺒﻤﺩﻴﻥﻤﻥﺸﻌﻴﺭ(ﺭﻭ١ﻩﺍﺤﻤﺩ)
Artinya
: Rasulullah SAW. Mengadakan walimah untuk sebagian istrinya dengan dua mud
gandum. ( HR. Bukhari).
Beberapa hadist tersebut diatas menunjukkan bahwa walimah
itu boleh diadakan dengan makanan apa saja sesuai dengan kemampuan. Hal itu di
tunjukkan oleh Nabi SAW. Bahwa perbedaan-perbedaan dalam mengadakan walimah
oleh beliau bukan membedakan / melebihkan salah satu dari yang lain. Tetapi
semata-metapa disesuaikan dengan keadaan ketika sulit / lapang.
2.Hukum menghadiri Undangan
walimah
Untuk menunjukkan perhatian memeriahkan, dan mengembirakan
orang yang mengundang, maka orang yang diundang walimah wajib mendatanginya.
Adapun wajibnya mendatangi undangan walimah, apabila :
a.
Tidak ada uzur syar’i
b. Dalam walimah itu tidak ada atau
tidak di gunakan untuk perbuatan munkar
c.
Yang diundang baik dari kalangan
kaya maupun miskin.
Dasar hukum wajib nya mendatngi
undangan walimah adalah hadist Nabi saw sebagai berikut :
اذادﻋﻲاﺣدﻛماﱃوﻟﻳﻣﺔﻓاﻳاﺗﻬا(رواﻩاﻟﺑﺧارﻰ)
Artinya :Jika salah seorang di antara mu di undang ke
walimahan,hendak lah ia datangi.(H.R. Bukhari )
وﻋﻧﻪاﻧﻪﺻﻟﻰﷲﻋﻟﻳﻪوﺴﻟﻢﻗاڶﻟودﻋﻳتاﱃﮐﺮاعﻻﺟﺑتوﻟواﻫﺪﻲاﱃذﺮاعﻟﭬﺑﻟﻢ
(ﺮواﻩاﻟﺑﺧﺮﻰ)
Artinya : Dari abu hurairah r.a bahwa Nabi saw bersabda “
Andaikata aku di undang untuk makan kambing,niscaya saya datangi,dan andai kata
aku di hadiahi kaki depan kambing,niscaya aku terima ( H.R. bUkhari ).
Jika undangan itu bersifat umum, tidak tertuju kepada orang-orang tertentu,maka
tidak wajib mendatangi nya tidak juga sunnah.
Misalnya orang yang mengundang berkata “ Wahai orang
banyak !! datangi lah walimah saya,tampa menyebut orang-orang tertentu,atau
dikatakan “ Undanglah setiap orang yang kamu temui “.
Ada juga yang berpendapat bahwa hukum menghadiri undangan
adalah wajib kifayah,dan ada juga yang berpendapat hukum nya sunah. Akan tetapi
pendapat pertama lah yang lebih jelas.
Secara
rinci undangan itu wajib di datangi , apabila memenuhi syarat – syarat
sebagai berikut :
a. Pengundang nya
mukallaf,merdeka dan berakal sehat.
b. Undangan nya
tidak di khususkan kepada orang-orang kaya saja,namun harus kepada orang miskin
juga.
c. Undangan nya
tidak hanya di tujukan kepada orang yang di hormati dan di segani saja.
d. Belum di
dahului oleh undangan lain.
e. Tidak ada
kemungkaran dan hal-hallain yang menghalangi kehadiran nya
f. Yang di undang
tidak ada unsur syar’i.
Memperhatikan syarat-syarat tersebut,jelas
bahwa apabila walimah dalam pesta perkawinan hanya mengundang orang-orang kaya
saja,maka hukum nya adalah makruh.
Nabi saw bersabda :
ﺷﺮاﻟﻃﻌاﻢاﻟوﻟﻳﻤﺔﻳﺪﻋﻰﻟﻬااﻻﻏﻧﻳاءوﻳﺗﺮڮااﻟﻐﻘﺮاء(ﺮواﻩاﻟﺑﺧاﺮﻰ)
Artinya :Sejelek jelek nya makanan adalah makanan
yang mengundang orang-orang kaya,tetapi meninggalkan orang-orang miskin.
J.
Hikmah Walimah
Di adakannya walimah dalam pesta perkawinan mempunyai beberapa hikmah
yaitu antara lain sebagai berikut :
1.
Merupakan rasa
syukur kepada Allah swt.
2.
Tanda
penyerahan anak gadis kepada pihak keluarga suami.
3.
Sebagai tanda
resmi nya ada nya akad nikah.
4.
Sebagai tanda
memulai hidup baru bagi suami istri.
5.
Sebagai
realisasi arti sosiologi dari akad nikah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon
istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih
bagi seorang istri kepada calon suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan
bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa
(memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah
maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan
manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi
maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang
yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau
utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang
demikian, maka disunahkan membayar sebagian.
Walimah berasal dari
bahasa arab yang artinya makanan pengantin. Maksud nya adalah
makanan yang di sediakan khusus dalam acara pesta
perkawinan. Menurut kesepakatan para ulama bahwa
mengadakan walimah itu hukum nya sunah muakkad dan hukum
mendatangi undangan walimah adalah wajib apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a.
Tidak ada
uzur syar’i.
b.
Dalam walimah
itu tidak ada unsur perbuatan munkar.
c.
Yang di undang
baik dari keluarga orang kaya mau pun orang miskin.
Adapun dalam pelaksanaan walimah tersebut terdapat
beberapa hikmah yang terkandung yakni sebagai berikut :
1.
Merupakan rasa
syukur kepada Allah swt.
2.
Tanda
penyerahan anak gadis kepada pihak keluarga laki-laki.
3.
Sebagai
tanda resmi nya hubungan suami istri .
4.
Sebagai tanda
memulai hidup baru.
5.
Sebagai
realisasi arti sosiologi dari akad nikah.
B. Saran
Adapun yang
menjadi saran dalam penulisan makalah ini yaitu penyusun menyadari bahwa
penyusun hanyalah manusia biasa yang tidak pernah luput dari sifat khilaf,
salah dan dosa. Oleh karenanya penyusun mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca apabila terdapat kekeliruan dalam memberikan penjelasan materi mengenai
Fiqh Munakahat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Lihat Kamus Istilah Fiqh,
hlm. 184. Lihat Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh (Jakarta: Depag RI,
1985) Jilid 3, hlm. 83. Lihat pula H. Abdurrahman Ghazali, Fiqih Munakahat
(Jakarta, Prenada Media, 2003), hlm. 84
Bandingkan dengan Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t.), Juz 2, hlm. 14-15
Abidin. Slamet. 1999. fiqih munakahat.
Semarang : Cv pustaka setia.
Iskandar. Slamet.
Fiqih munakahat. Semakarang. IAIN walisongo
Slamet
abidin, fiqih munakahat. (Bandung : Cv pustaka setia. 1999) hal : 149
Ibid.
hal. 153.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar