PERADILAN ISLAM MASA KHULAFAURRASYIDIN
PENDAHULUAN
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, perjuangan Rasulullah SAW diteruskan olehkhulafâ’ al-râsyidîn, yaitu Abu Bakar al-Shiddîq RA, Umar bin Khattab RA, Utsman bin Affan RA, dan Ali bin Abi Thalib RA.
Alasan disebut dengan khulafâ’ al-râsyidîn adalah dikarenakan kata khulâfâ’ berasal dari khalîfahyang berarti pengganti. Sedangkan râsyidûn adalah yang mendapatkan petunjuk. Jadi khulafâ’ al-râsyidîn adalah khalifah-kahlifah (pengganti-pengganti) Rasulullah SAW yang berarti mendapat bimbingan yang benar, karena mereka melakasanakan tugas sebagai pengganti Rasulullah SAW menjadi kepala negara Madinah dan sebagai pembantu rakyat dan wakil pelaksana mereka dalam mengelola negara.
Dalam meneruskan perjuanggan Rasulullah SAW, khulafâ’ al-râsyidîn telah melakukan banyak sekali kebijakan untuk membangkitkan perjuangan Islam. Salah satunya adalah peradilan (yudisial). Ini dikarenakan peradilan adalah sangat penting bagi pembangunan umat Islam itu sendiri, melihat Nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah SWT sudah tidak ada lagi. Maka dari itu, konsep peradilan khulafâ’ al-râsyidîn sangatlah penting dalam sejarah pembentukan ‘Peradilan Islam’.
PEMBAHASAN
1. Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Abu Bakar As-sidiqy
Abu Bakar al-Shiddîq RA, adalah pengganti Rasulullah SAW dalam hal duniawi (pemerintahan) dan dalam hal ukhrawi (spiritual) yang hanya terbatas pada pemimpin agama, seperti imam solat, mufti, dan lain-lain yang bukan sebagai rasul yang mendapatkan wahyu.
Pada saat Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan hukum.
Malahan, pada periode ini peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan
kadang-kadang khalifah memberi kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim
seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Perkara ini berlaku sampai pada awal
kekhalifahan Umar bin al-Khattab. Jadi, pada periode ini, belum ada pemisahan
antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sebaliknya
khalifah memegang kekuasaan yudikatif1.
Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari
Syaikh Muhammad Bakhît al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:
"... وفي خلافة أبي بكر تولى عمر بن الخطاب القضاء فكان أول قاض في الإسلام للخليفة"\
(... dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin al-Khatthâb sebagai hakim, maka adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah)
Abu Bakar RA membagi Jazirah Arab
menjadi beberapa wilayah. Beliau melantik pada setiap wilayah tersebut seorang
pemimpin (amîr) yang ada sebelumnya. Amîr ini memimpin solat, menjadi hakim bagi perkara yang diangkat padanya,
begitu juga melaksanakan hudûd. Dikarenakan ini, Abu Bakar RA memberi setiap amîr tersebut ketiga-ketiga kekuasaan pemerintahan
(eksekutif, yudikatif, dan legislatif).
2. Peradilan Islam Pada Masa Umar bin Khatab
Setelah wafatnya Abu Bakar RA,
kekhalifahan dipegang Saidina Umar bin al-Khattab RA. Pada saat ini, daerah
Islam semakin luas. Tugas-tugas pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan
ekonomi semakin rumit. Khalifah Umar RA juga mulai sibuk dengan peperangan yang
berlaku antara negara Islam dengan Parsi dan Romawi. Dengan semua kesibukan
ini, Umar tidak sempat untuk menyelesaikan semua masalah peradilan. Maka dari
itu, beliau memutuskan untuk mengangkat hakim yang berada di luar kekuasaan
eksekutif. Ini adalah pertama kali pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif
terjadi.
Memisahkan Qadla (Lembaga Peradilan) dari tangan
gubernur dan yang mula-mula melakukannya
Dikala Khilafah ( pemerintahan ) Islam dikendalikan
umar r.a barulah dirasakan perlu mengadakan pejabat tertentu untuk
menyelesaikan perkara-perkara yang diadukan kepada penguasa. Pada masa khalifah Umar, kota-kota Islam
telah bertambah banyak. Pekerjaan yang harus diselesaikan Khalifah, atau para
gubernur telah bertimbun-timbun hingga sukarlah bagi khalifah menyelesaikan
sendiri segala perkara yang diajukan kepadanya. Urusan-urusan pengadilan, di
samping pemangku-pemangku wilayah umum (Gubernur). Tidak saja di kota Madinah
di pusat pemerintahan, Umar mengangkat pejabat tinggi yang khusus mengendalikan
lembaga pengadilan, bahkan di kediaman para gubernur pun beliau mengangkat juga
pejabat sebagai hakim.
Untuk hakim di Madinah, diangkat Abud Darda. Untuk
hakim di Bashrah di angkat Syuraih. Dan untuk hakim di Kufah diangkat Abu Musa
Al Asy’ary. Oleh Abu Msalah ditulis Risalatu Qadla.
Kepada Qadli Abu Musalah Amirul Mu’minin ‘Umar,
mengirim instruksinya yang dikenal dalam sejarah kehakiman Islam dan menjadi
pedoman pokok bagi para hakim.
Yang berwenang mengangkat Qadli (Hakim)
Yang berhak mengangkat Qadli dan memberhentikannya
pada mulanya adalah Khalifah (Kepala Negara) sendiri. Khalifah sendiri
mengangkat seseorang untuk menjabat jabatan Qadli guna di tempatkan di Suatu
daerah, atau dengan cara mengirim surat kepada para wali (Gubernur) supaya
mengangkat Qadli. Adakala orangnya ditunjuk oleh khalifah atau Gubernur.
Adapun, Al Khatib Al Baghdady menerangkan dalam tarik
Baghdad bahwa: wali – Kepala daerah sendiri yang menentukan Qadli yakni tidak
menanti amanat Khalifah lebih dahulu.
Dr. Hasan Ibrahim dalam tarik Al Islam As Siyasi
berkata: Apabila Kepala Daerah umum urusannya mempunyai wilayah ammmah, yakni
mengendalikan segala persoalan yang bersangkutan dengan pemerintahan maka
bolehlah ia menentukan, atau mengangkat Qadli-qadli tanpa menanti amarah
(perintah) Khalifahnya.
Penjelasan:
Qadli daerah mula-mulanya ditunjuk oleh Khalifah
sendiri, Khalifah yang mengutus dari pusat pemerintahan ke suatu daerah, qadli
yang telah diangkat menjadi qadlli di daerah itu.
Apabila Khalifah tidak menetapkan dan mengutus orang
yang telah ditetapkan untuk suatu daerah, maka Khalifah menginstruksikan kepada
amir-amir atau walinya mengangkat qadli yang ditunjuk oleh Khalifah. Jika
Khalifah tidak menunjukkan maka amir-amir sendiri menetapkan orangnya.
Para Gubernur yang umum urusannya, dibolehkan
mengangkat qadli dengan tidak menunggu perintah Khalifah, apabila hal itu
dipandang perlu oleh Gubernur yang bertanggung jawab2
Sifat-sifat Qadli yang dipentingkan oleh Khalifah Umar
Umar pernah mengirim surat kepada Mu’azd dan Abu ‘Ubaidah untuk mengangkat
mereka menjadi Qadli negri Suriya.
·
Umar berpesan kepada amir-amirnya supaya berlaku jujur
dalam mengangkat para Qadli. Umar berkata :
“ Amir-amir yang mengangkat seseorang Qadli dengan maksud agar Qadli yang
diangkat itu, memihak kepadanya, akan menanggung separuh dari dosa Qadli itu “.
·
Umar Ibn Abdil ‘Aziz mengangkat Qadli dengan
mengutamakan sifat- sifat yang lima ini :
Pertama, sempurna ilmunya tentang masalah –masalah
yang telah terjadi. Kedua, Suci atau bersih jiwanya dari sifat tama’.
Ketiga, mempunyai sifat tenang, tidak mencari kesempatan membalas sakit hati.
Keempat, meniru dan meneladani pemimpin-pemimpin
agama yang terkenal.
Kelima, suka berunding dalam menghadapi
perkara-perkara yang diputuskan, dengan ahli ilmu dan berakal3.
Peletakan Azas-azas
Hukum Perdata oleh Umar Bin Khatab
Naskah azas-azas hukum
acara.
Dari Umar amirul
mu’minin kepada Abdullah zbin Qais, mudah-mudahan Allah melimpahkan
kesejahteraan dan rahmatnya kepada engkau.
1.
Kedudukan Lembaga Peradilan
Kedudukan lembaga peradilan ditengah-tengah masyarakat suatu negara hukumnya
wajib (sangat urgen) dan sunnah yang harus diikuti dan dipatuhi.
2.
Memahami kasus persoalan, baru memutuskannya.
Pahami persoalan suatu kasus gugatan kepada anda dan ambillah keputusan
setelah jelas mana yang benar dan mana yang salah. Karena sesungguhnya suatu
kebenaran yang tidak memperoleh perhatian hakim akan menjadi sia-sia.
3.
Samakan pandangan anda kepada kedua belah pihak, dan
berlaku adillah.
Kedudukan kedua belah pihak di majlis secara sama, pandang mereka dengan
pandangan yang sama agar orang yang terhormat tidak melecehkan anda dan orang
yang lemah tidak merasa teraniaya.
4.
Kewajiban pembuktian
Penggugat wajib membuktikan gugatannya dan tergugat wajib membuktikan
bantahannya.
5.
Lembaga damai
Penyelesaian perkara secara damai dibenarkan, sepanjang tidak menghalalkan
yang haram dan mengaharamkan yang halal.
6.
Penundaan persidangan
Barang siapa menyatakan ada sesuatu hal yang tidak ada ditempatnya atau
suatu keterangan, maka berilah tempo kepadanya untuk dilaluinya. Kemudian jika
ia memberikan keterangan hendaklah engkau memberikan kepadanya haknya. Jika dia
tidak mampu memberikan yang demikian, maka engkau dapat memutuskan perkara yang
merugikan haknya, karena yang demikian itu lebih mantap bagi keuzurannya dan
lebih menampakkan apa yang tersembunyi.
7.
Kebenaran dan keadilan adalah masalah universal
Janganlah engkau dihalangi oleh suatu putusan yang telah anda putuskan pada
hari ini, kemudian anda tinjau kembali putusan itu lalu anda ditunjuk pada
kebenaram untuk kembali kepada kebenaran, karena kebenaran itu suatu hal yang
qadim yang tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu. Kembali kepada yang hak, lebih
baik daripada terus bergelimangan dalam kebatilan.
8.
Kewajiban menggali hukum yang hidup dan melakukan
penalaran logis
Pergunakanlah kekuatan logis pada suatu kasus perkara yang diajukan kepada anda dengan mrenggali dan memahami hukum yang hidup, apabila hukum suatu perkara kurang jelas dalam Al qur’an dan sunnah. Kemudian bandingkanlah permasalahan tersebut satu sama lain dan ketahuilah (kenalilah) hukum yang serupa, kemudian ambillah mana yang lebih mirip dengan kebenaran.
9.
Orang Islam haruslah berlaku adil
Orang Islam dengan orang Islam lainnya haruslah adil, terkecuali orang yang
pernah menjadi saksi palsu atau sudah pernah dijatuhi hukuman hadd atas orang
yang diragukan tentang asal usulnya, karena sesungguhnya Allah yang
mengendalikan rahasia hamba dan menutupi hukuman atas merekam terkecuali dengan
ada keterangan dan sumpah.
10.
Larangan bersidang ketika sedang emosional
Jauhilah diri anda dari marah, pikiran kacau perasaan tidak senag dan
berlaku kasar terhadap para pihak.
Karena kebenaran itu hanya berada didalam jiwa yang tenang dan niat yang
bersih4.
3. Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin al-Khattab RA meninggal
dengan dibunuh, maka kursi kekhalifahan dipegang oleh Saidina Utsman bin Affan
RA dengan dilantik oleh rakyat. Khalifah Utsman adalah orang yang
mengkodifikasi Alquran setelah pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar RA atas
usulan Umar RA.
Sistem pengadilan pada zaman beliau adalah sama
seperti yang telah diatur Umar RA, karena beliau tinggal meneruskan saja sistem
Umar RA yang sudah tertata rapi.
Salah satu perubahan penting bagi pengadilan Islam
pada zaman Khalifah Utsman bin Affan RA adalah dibangunnya bangunan khusus yang
digunakan untuk peradilan negara Islam. Sebelum Khalifah Utsman RA, masjid
adalah tempat untuk berperkara.
Utsman juga mengirim
pesan-pesan kepada para pemimpin di daerah lain, petugas menarik pajak, dan
masyarakat muslim secara umum untuk menegakkan kelakuan baik dan mencegah dari
kemungkaran. Beliau memesan kepada petugas menarik pajak untuk menarik pajak dengan
adil dan jujur. Beliau memberi nasihat khusus kepada petugas pajak dengan
kata-kata berikut ini:
أما بعد, فإن الله خلق الخلق بالحق فلا يقبل إلا الحق خذوا الحق وأعطوا الحق والأمانة الأمانة قوموا عليها ولا تكونوا أول من يسلبها فتكونوا شركاء من بعدكم الوفاء الوفاء لا تظلموا اليتيم ولا المعاهد فإن الله خصم لمن ظلمهم .
Dalam memberi hukum, Utsman memakai Alquran, sunnah,
lalu pendapat khalifah sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan
bermusyawarah dengan para sahabat.
4. Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Ali
bin Abi Thalib
Setelah
meninggalnya Utsman RA, Saidina Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai khalifah.
Beliau tidak melakukan perubahan di dalam peradilan. Beliau juga berpegang pada
Alquran, sunnah, lalu merujuk pada khalifah sebelumnya. Seumpama tidak ditemui,
baru beliau bermusyawarah dengan sahabat yang lain berdasarkan pada ayat: {وشاورهم في الأمر}.
Sesuai dengan
khalifah sebelumnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA juga membayar gaji para
hakim dengan memakai uang yang ada di Bait al-Mâl.
Selain dari itu,
dalam usaha Khalifah Ali RA meningkatkan kualitas peradilan Islam, beliau
memberi insruksi kepada Gubenur Mesir dalam penentuan orang-orang yang akan
diangkat menjadi hakim. Di dalam instruksi itu, ditekankan agar penguasa
memilih orang-orang yang akan menjadi hakim dari orang-orang yang dipandang
utama oleh penguasa sendiri, jangan dari orang-orang yang berpenghidupan
sempit, jangan dari orang-orang yang tidak mempunyai wibawa dan jangan pula
dari orang-orang yang loba kepada harta dunia, di samping mempunyai ilmu yang
luas, otak yang cerdas, daya kerja yang sempurna.
Khalifah Ali bin
Abi Thalib telah banyak memberi hukum atau fatwa yang dijadikan hukum oleh
orang-orang setelahnya. Salah satu kemusykilan hukum yang diselesaikan Ali RA
adalah apabila ada seorang istri yang mana suaminya meninggal dunia sebelum
suami tersebut menjimak istrinya. Sedangkan suami tersebut belum menyerahkan
mas kawin kepada istri tersebut. Maka Ali RA menghukumi bahwa tidak ada hak
bagi istri tersebut mas kawin yang sepadan (مهر المثل), karena diqiyaskan pada
wanita yang tertalak. Ini berdasarkan pada firman Allah SWT:
“لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً”.
3.
Instansi-Instansi Peradilan dan tugas-tugasnya pada periode
pertama
Kekuasaan lembaga
peradilan pada periode pertama dibagi menjadi tiga bagian ;
·
Jawatan pengadilan yang dikendalikan oleh kepalanya
yang dinamakan “Qadli’’, para Qadli menyelesaikan perkara-perkara yag
bersangkutan dengan hutang piutang atau hukum-hukum perdata.
·
Jawatan pengadilanyang dikendalikan oleh kepalanya
yang dinamakan “Muhtasib”, para Muhtaasib menyelesaikan urusan urusan yang
berpautan dengan umum dan urusan-urusan pidana atau jinayah, uqubat, dsb.
·
Jawatan pengadilan yang dikendalikan oleh kepala
negara atau seseorang yang diserahi tugasnya kepadanya, yang dinamakan Qadli
(wali) madhalim, wali madhalim menyelesaikan persengketaan yang tak dapat
diselesaikan oleh jawatan perrama dan kedua.
Dewan madhalim inii dipimpin oleh kepala negara sendiri, atau wali (kepala
daerah), atau oleh seseorang yang ditunjuk untuk itu. Dan biasanya
sidang-sidang itu dilakukan didalam masjid.
Majlis pengadilan iini
dihadiri oleh :
1.
Beberapa petugas, beberapa pengawal Qadli (hakim)
untuk dimintakan pertolongannya dan untuk menasehati orang-orang yang
bersangkutan.
2.
Beberapa para fuqoha untuk dimintakan
pendapat-pendapatnya mengenai hukum yang harus diberikan.
3.
Para pencatat (panitera) dan beberapa orang yang
sesewaktu diminta menjadi saksi5.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah membahas
secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar RA, beliau tidak melakukan
perubahan sistem peradilan seperti yang telah ditinggalkan Nabi Muhammad SAW.
2.
Khalifah Umar bin al-Khattab RA adalah khalifah yang
pertama kali memisah kekuasaan yudisial dari eksekutif. Beliau juga membuat
sebuahdustûr yang dibuat
pegangan bagi para hakim agung.
3.
Utsman bin Affan RA tidak banyak melakukan perubahan
sistem peradilan dari apa yang ditinggalkan Umar RA. Utsman adalah khalifah
yang pertama kali membangun gedung khusus untuk peradilan Islam.
4.
Ali bin Abi Thalib RA memberi instruksi kepada
pemimpin-pemimpin daerah bagi kriteria orang yang layak untuk diangkat menjadi
hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar