A.
PENGERTIAN
MAZHAB
Menurut bahasa atau dilihat dari kosa kata, mazhab merupakan
bentuk isim makan dari kata “dzahaba” , artinya jalan atau tempat yang dilalui,
sedangkan menrut istilah ulam ahli fiqh, mazhab adalah mengikuti sesuatu yang
dipercayai.
Lebih lengkapnya pengertian mazhab menurut fiqih adalah
hasil ijtihad seorang imam(mujtahid) tentang hukum suatu masalah yang belum
ditegaskan oleh nash. Jadi, masalah yang bisa menggunakan metode ijtihad ini
adalah yang termasuk kategori dzonni
atau prasangka, bukan hal yang qoth’i atau pasti
B.
SEJARAH
MUNCULYA MAZHAB
Ketika masa Rosulullah masih hidup, tidak dikenal adanya
aturan wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram. Umat Islam waktu itu hanya pada
waktu itu hanya mengenal iustilah “Ittiba” artinya mengikuti mengikuti petunjuk
dan perilaku Rasulullah.Aturan hukum yang
5 tersebut, muncul setelah rasul wafat, digolong-golongkan oleh ahli
hukum. Setiap dari kaum muslimin yang bertanya akan suatu aturan pada waktu
itu, langsun dikerjakan tanpa bertanya lagi akan hukum dan alasannya. Mereka
tidak tidak tertarik dengan hal-hal yang bersifat filosofis atau perincian yang
bersifat njilmet.
Dalam menentukan sebuah aturan atau menjawab sebuah
pertanyaan, Rasul tidak memberikan jawaban yang sangat detail dan kaku, namun
lebih bersifat umum. Hal ini baru diketahui hikmahnya, maka Rasul pun (Hadits)
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada generasi selanjutnya dalam
menentukan sebuah aturan secara khusus dengan metode nalar dan logika(ijtihad).
Namun demikian, walaupun beliau memberikan kebebasan seluas-luasnya, ada aturan
yang mesti dipegang yakni
“Hendaknya
kamu mengikuti sunahku dan sunnah khulafaurasyidin yang dapat petunjuk dimasa
kemudian dariku”(HR Ahmad, Abu Daud, AtTurmuzi,Ibn Majah”)
Awal mulanya timbulnya mazhab ini bersifat
kedaerahan dipimpin oleh seorang yang paling menonjol dalam bidang hukum.
Mazhab paling besar pada waktu itu adalah mazhab Iraq dan Mazhab Hijaz. Mazhab
Hijaz memakai pendekatan aturan/qiyas berdasarkan nalar/logika. Penggunaan
nalarlebih condong dipakai mazhab iraq, karena hadits yang beredar di Iraq pada
waktu itu sangat sedikit karena sulitnya distribusi hadits yang masih mulut
kemulut. Setelah itu, timbullah mazhab-mazhab baru dan paling masyhur serta
diakui sebagai ahli sunnah wal jamaah adalah mazhab hanafi, Maliki, Syafi’i dan
hambali.
Jadi dapat dipahami bahwa mazhab yang sudah berujud kitab
berjilid-jilid yang sekarang banyak beredar (kitab kuning) bukan masalah baru
dalam islam. Dia bukan dinding pemisah yang menjauhkan umat islam ditunjukkan
bagaimana cara memahami Al Quran dan hadits dengan benar secara ilmiah dan bisa
dipertanggungjawabkan, bukan berdasarkan nalar pribadi masing-masing
C.
MAZHAB
HANAFI
1.
Biografi
Imam Hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699M).
Nama beliau sejak kecil ialah Nu’man bin Tsabit bin Zauth bin Mah. Ayah beliau
keturunan dari bangsa persi (Kabul Afghanistan) yang sudah menetap di Kufah.
Pada masa beliau dilahirkan pemerintahan islam berada di
tangan Abd. Malik bin Marwan, Raja Bani Umayyah yang ke-5.
Beliau digelar Abu Hanifah, karena dintara putranya ada yang
bernama Hanifah. Ada lagi menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah,
karena begitu taatnya beliau beribadah kepada Allah, yaitu berasal dari bahasa
arab Haniif yang berarti condong atau cenderung kepada yang benar. Menurut
riwayat lainnya pula, beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena begitu dekat dan
eratnya beliau berteman dengan tinta karena Hanifah menurut bahasa Irak adalah
tinta.
Abu hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur
tubuh yang bagus,jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus
wajahnya, bagus dalam berpakaian dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam
bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya,
disegani dan tidak membicarakan hal-hal tidak berguna.
Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga
melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih,
mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan
yang samr/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.
Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang
ke kufah dan belajar kepadanya,beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama
lain seperti Atha’bin Abi Rabbah yang merupakan Syaikh besarnya, Asy-Sya’bi,
Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A,raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin
Nafi’, Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin
Dinar, Hamad bin abdul sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al –Baqir, Ibnu
Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang
pernah meriwayatkan bahwa beliau sempat
bertemu dengan 7 sahabat.
Beliau pernah bercerita, tatkalapergi kekota Bashrah, saya
optimis kalau ada orang bedrtanya kepadaku bertanya kepadaku tentang suatu
masalah lantas saya tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak
berpisah dengan Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selam 10
tahun.
2.
METODE
MAZHAB ABU HANAFI
Abu Hanifah dikenal sebagai Ahli Ra’yi dalm menetapkan hukum
islam, baik yang diistinbathkan dari Al-Quran ataupun Hadits. Beliau banyak
menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra’yi ketimbang nalar. Beliau
mengutamakan ra’yi ketimbang khabar ahad. Abu hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum berpegang
kepada beberapa dalil syara’ yaitu Al-Quran, sunnah, Ijma’ sahabat, Qiyas,
Istihsan, dan Urf.
Al-Quran, Sumber Hukum pertama yang digunakan Imam Abu
Hanifah
Terkait hal ini ,
Imam Abu Hanifah sependapat dengan Jumhur lainnya bahwa Al-Quran adalah lafadz
dan maknanya. Sumber yang muttafaq. Termasuk Imam Abu hanifah. Namun, Abu
Hanifah berbeda pendapat mengenai terjemah Al-Quran kedalam bahasa selain
bahasa Arab. Menurut beliau bahwa terjemah tersebut juga termasuk Al-Quran.
Diantara dalil yang menunjukkan pendapat Imam Hanafi
tersebut adalah dia yang membolehkan sholat dengan menggunakan bahasa Persi,
sekali pun tidak dalam keadaan darurat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun
orang itu bodoh tidak boleh membaca Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain
Arab dalam sholat.
As-Sunnah, Sumber kedua Yang Digunakan Imam Abu Hanifah
Kalau Imam Hanafi tidak menemukan ketentuan hukum suatu
masalah dalam Al-Quran, dia mencarinya dalam Sunnah. Kalau melihat dari
pendafat imam hanafi dilihat dari segi sanad, hadits itu terbagi dalam
mutawattir, masyhur dan ahad dan semua ulama menyepakati kehujjahan hadits
mutawattir, namun mereka berbeda pendapat dalam menghukumi hadits ahad, yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW.
Ijma, Para Sahabat, Sumber Hukum Ketiga Imam Abu Hanifah
Para ulama, termasuk Imam Abyu Hanifah telah sepakat bahwa
ijma’ merupakan salah satu sumber hukum dalam islam. Ia menempatkan urutan
ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak ada ulama yang menolak tentang
kesepakatan Ijma
Qiyas, Sumber Hukum Keempat Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas, apabila ternyata dalam
Al-Quran, sunnah atau perkataan sahabat tidak beliau temukan. Beliau
menghubungkan sesuatu yang belum ada hukumnya kepada nash yang ada setelah
memperhatikan illat yang sama antara keduanya.
Istihsan, Sumber Hukum Kelima Imam Abu Hanifah
Urf, Sumber Hukum keenam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah menggunakan Urf sebagai salah satu metode
hukum yang dijadikan sumber hukum dalam ijtihadnya.
D. MAZHAB MALIKI (93 H – 179 H)
1.
Biografi
Nama lengkap dari Mazhab ini ialah : Malikn bin Anas bin Abu
Amir. Lahir pada tahun 93 M = 712 M di Madinah. Selanjutnya dalam kalangan umat
islam beliau dikenal dengan sebutan Imam Malik. Imam Malik terkenal bidang
haditsRasulullhah SAW.
Imam Malik belajar pada Ulama-ulama Madinah. Yang menjadi
guru pertamanya ialah Abdur Rahman
binHurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab
AzZuhri.Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialahh Abdur Rahman. Imam
Malik adalah Imam (tokoh) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang Fiqh dan
Hadis.
Beliau dididik ditengah-tengah orang cerdas pikiran, cepat
menerima pelajaran, kuat ingatan dan teliti. Dari kecil beliau membaca Al-Quran
dengan lancar di luar kepala dan mempelajari pula tentang Sunnah dan
selanjutnya setelah dewasa beliau belajar kepada para ulama dan Fuqaha. Beliau
menghimpun pengetahuan yang didengar dari mereka, manakala atsar-atsar mereka,
mempelajari dengan seksama pendirian-pendirian atau aliran-aliran mereka, dan
mengambil kaidah-kaidah mereka sehingga beliau pandai tentang semuanya itu.
Kepandaian Imam Malik Tentang Pengetahua Agama dapat
diketahui melalui para ulama pada masanya, seperti pernyataan Imam Hanafi yang
menyatakan bahwa: “Beliau tidak pernah menjumpai seorang pun yang lebih alim
daripada Imam Maliki. Bahkan Imam al-Laits bin Sa’ad pernah berkata, bahwa pengetahuan Imam Maliki adalah pengetahua
orang yang takwa kepada Allah dan boleh dipercaya bagi orang-orang yang benar
hendak mengambil pengetahuan.”
Dalam suatu riwayat dikatakan, bahwa Imam Maliki menghimpun
hadits Nabi selama 40 tahun dan dalam suatu riwayat lagi ada yang menyatakan
bahwa Imam Maliki telah hafal 100.000 hadis dan beliaulah orang yang paling
hafal hadis Nabi
2.
METODE
MAZHAB MALIKI
Metode
fiqhnya diambil berdasarkan :
1.
Nashul
Kitab (ayat Al Quran yang jelas artinya, yang tidak dapat dipalingkan artinya
kepada arti yang lain)
2.
Dzaahirul
Kitab (umum, ayat Al Quran yang jelas artinya, yang tidak dapat dipalingkan
artinya kepada arti yang lain)
3.
Dalilul
Kitab (umum, ayat Al Quran yang jelas artinya, yang tidak dapat dipalingkan
artinya kepada arti yang lain)
4.
Mafhum
muwafaqah dari suatu ayat Al Quran
5.
Tanbihul
Kitab, terhadap illat (sesatu yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum, dengan
kata lain illat merupakan pemicu/dasar/latar belakang disyari’atkannya hukum)
6.
Nash-nash
sunnah (matan hadis yang jelas artinya yang tidak dapat dipalingkan artinya
kepada arti yang lain)
7.
Dzahirus
Sunnah (matan hadits yang dapat ditakwilkan artinya, pemalingan suatu lafadz
dari maknanya yang dzahir kepada maknanya yang lain karena adanya dalil yang
menunjukkan bahwa makna itulah yang dikehendaki oleh lafadz tersebut)
8.
Dalilus
Sunnah (mafhum muwafaqah dari suatu matan hadits, peengertian yang dipahami
berbeda dari ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi
(meniadakkan))
9.
Mafhum
Sunnah (mafhum muwafaqoh dari suatu matan hadis, Penunjukkan lafadz atas
berlakunya hukum dari masalah yang tidak disebutkan (manthuq) bagi masalah yang
tidakdisebutkan (maskut) dan penyesuaiannya baik secara tidak pasti (nafy) atau
tidak pasti (itsbat) bagi perlibatan keduanya atas makna dan dapat diketahui
dengan hanya memahami bahasa)
10.
Tanbihus
Sunnah
11.
Ijma
12.
Qiyas,
selama beliau tidak menemukan hadis(meskipun mursal) atau tidak menemukan fatwa
sahabat nabi SAW
13.
Amalu
Ahlil Madinah, praktik hukum dari suatu masalah yang dilakukan oleh ulama’
madinah
14.
Qaul
Shahabi pendapat atau fatwa para sahabat nabi SAW, tentang suatu kasus yang
belum dijelaskan hukumnya secara tegas didalam al-quran dan sunnah
15.
Istihsan
16.
Muraa’atul
khilaf
17.
Saddud
Dzaraa’i
Kitab-kitab
mazhab Maliki
1.
Kitab
Muwathta, kitab yang termashyur merupakan kitab yang mengandung hadis-hadis dan
hukum
2.
Kitab
Mudawanah Al-Qubra , yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Maliki atas
berbagai persoalan
Daerah-daerah yang menganut madzhab
imam maliki Awal mulanya
tersebar didaerah Madinah, kemudian
tersebar sampai saat inidi Morokko, Aljazair, Tunisia, Libia, Bahrain,
dan Kuwai
E.
MAZHAB
SYAFI’I (150 H – 204 H)
1.
BIOGRAFI
IMAM SYAFI’I
Imam Syafi’i
dilahirkan di Guzzah suatu kampung dalam jajahan Palestina, masih wilayah
Asqalan pada tahun 150 H (767M), bersamaan wafatnya Imam Hanifi. Kemudian
beliau dibawa ibunya ke Mekkah dan dibesarkan di sana. Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris
Abbas Ibn Utsman Ibn Syafi’i
al-Muthalibi dari keturunan Muthalib bin Abdi Manaf, yaitu kakek keempat dari
rasul dan kakek kesembilan dari as-Syafi’i. Dengan demikian jelaslah, bahwa
beliau ini adalah keturunan dari keluarga bangsa Quraisy dan keturunan beliau
bersatu dengan keturunan Nabi SAW. Pada Abdul Manaf (Datuk Nabi yang ke-3 Beliau belajar Fiqh pada Muslim Ibn
Khalid dan mempelajari hadis pada Sofyan Ibn Uyainah guru hadist di Mekkah dan
pada Maliki ibn Anas diMadinah.Pada masa itu pemerintahan berada di tangan
Harun ar-Rasyid dan pertarungan sedang menghebat antara keluarga Abbas dan
keluarga Ali. Kecerdasan Imam Syafi’i dapat kita ketahui
melalui riwayat-riwayat yang mengatakan, bahwa Imam Syafi’i pada usia 10 tahun
sudah hafal dan mengerti kitab al-Muwathta’ kitab Imam Maliki. Karena itulah
ketika belajar ilmu hadist kepada Imam Sofyan binUyainah, beliau sangat
dikagumi oleh guru besar ini dan selanjutnya beliau dapat menempuh ujian ilmu
hadist dari guru besar tersebut. Beliau
adalah seorang ahli dalam Bahasa Arab, kesustraan, syairnya dan sajaknya.
Tentang syairnya (ketika beliau masih remaja yaitu pada usia 15 tahun) sudah
diakui oleh para ulama ahli syair. Kepandaiannya dalam mengarang dan menyusun
kata yang indah dan menarik serta nilai isinya yang tinggi, menggugah hati pada
ahli kesustraan Arab, sehingga tidak sedikit ahli syai r pada waktu itu yang
belajar pada beliau. Kitab yang pertam
kali dibuat oleh Imam Syaf’i ialah Ar-Risalah yang disusun diMekkah atas
permintaan Abdur rahman Ibn Mahdi. Di Mesir beliau mengarang kitab-kitab yang
baru yaitu al-umm, al-amali, dan al-Imlak.
2.
METODE
MAZHAB IMAM SYAFI’I
Mengetahui
dasar-dasar yang dipakai oleh Imam Syafi’i sbagai acuan pendapatnya termaktub
dalam kitabnya ar-Risalah sbagai berikut:
1.
Al-quran,
beliau mengambil dengan makna (arti) yang lahir kecuali jika didapati alasan
yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu, yang harus dipakai atau dituruti.
2.
As-Sunnah,
beliau mengambil Sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang
ahad pun diambil dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi
syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadis itu orang kepercayaan, kuat ingatan
dan bersambung langsung kepada Nabi SAW.
3.
Ijmak
dalam arti, bahwa para sahabat semuanya telah menyepakatinya disamping itu
beliau berpendapat danmenyakini, bahwa kemungkinan ijmak dan persesuaian paham
bagi segenap ulama itu, tidak mungkin karena berjauhan tempat tinggal dan sukar
berkomunikasi
4.
Qiyas,
Imam Syafi’i memakai Qiyas pabila dalam ketiga dasar hukum di atas tidak
tercantum, juga dalam keadaan memaksa.
5.
Istidlal(Istishab),
Imam Syafi’i memakai jalan Istidlal dengan mencari alasan atas agama ahli kitab
yang terang-terangan tidak dihapus oleh al-Quran. Beliau tidak sekali-kali
mempergunakan pendapat atau buah pkiran manusia.
F.
MAZHAB
HAMBALI (164 H – 241 H)
1.
BIOGRAFI
IMAM BIN HAMBALI (164 H- 241 H)
Imam Hambali nama
lengkapnya ialah al-Imam Abu Abdillah Ahmad ibn Hilal Addahili as-Syaibani al-Maruzi,
biliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H. Ayahandanya bernama Muhammad as-Syaibani,
sedangkan ibu beliau bernama Syarifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin
sawadah binti Hindun as-Syaibani (wanita dan bangsa Syaibaniyah juga ) dari
golongan terkemuka kaum bani Amir). Ayah
beliau meninggal ktika berusia 30 tahun, dan beliau masih anak-anak pada masa
itu, sebab itulah sejak kecil beliau tidak pernah diasuh ayahnya, tetapi hanya
oleh ibunya. Menurutsati riwayat yang mashyur Imam Hambali sebenarnya lahir di
kota Marwin, wilayah Khurasan. Namun di kala beliau masih dalam kandungan
ibunya, secara kebetulan ibunya pergi ke Baghdad dan ia melahirkan di sana. Kota Baghdad pada waktu itu pada waktu itu
tempat para terpelajar. Oleh sebab itu Imam Hambali pertama kali belajar Ilmu
Pengetahuan Agama Dan alat-alatnya, kepada para guru dan para ulama di Baghdad.
Kemudian setelah berusia 16 tahun, barulah beliau menuntut ilmu Pengetahuan
keluar kota seperti ke Kufah, Bashrah, Syam, Yaman, Mekkah, Dan Madinah. Dari
perantauan ilmiah inilah beliau mendapatkan guru hadits kenamaan seperti Sofyan
bin Uyainah, Ibrahim bin Sa’ad, Yahya bin Qatthan. Dengan usahanya yang tidak
kenal lelah, beliau terus memperbanyak pencarian hadits, menghafalnya dan
menghimpun seluruh hadits dalam kitab musnadnya sehingga ia menjadi Imam ahli
hadits pada masanya. Beliau belajar fiqh padaas-Syafi’i ketika imam Syafi’i
datang ke Banghdad. Menurut
riwayat Imam Abu Zur’ah seorang ahli hadits semasa dengan Imam Hmabali,
menyatakan: “bahwa Imam Ahmad itu telah hafal satu juta hadits”. Lalu ia
ditanya orang: “Bagaimana engkau mengerti itu!”. Abu Zur’ah berkata: “Karena
aku pernah beruding dengan dia dan aku mengambil beberapa bab daripadanya”.
Selanjutnya ia ditanya orang lagi: “Apakah engkau lebih hafal dari Imam Ahmad”.
Abu Zur’ah berkata: “Imam Ahmad yang lebih hafal”.
2.
METODE
MAZHAB IMAM HAMBALI
1. Nash al-Quran dan Hadits, yakni apabila
beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil
yang lain dan tidakmemperhatikan pendapat-pendapat shabat yang menyalahinya.
2. Fatwa sahaby, yaitu ketika beliau tidak
memperoleh nash dan beliau tidak mendapati suatu pendapat yang tidak
diketahuinya bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpendapat
kepada pandapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan Ijmak.
3. Pendapat sebagian sahabat, yaitu
apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah, maka beliau mengambil
mana yanglebih dekat kepada al-Quran dan Sunnah. Terkadang beliau tidak mau
memberi fatwa, apabila beliau tidak memperoleh pentarjih bagi suatu pandapat
itu.
4. Hadits Mursal atau Hadits Daif. Hadits
Mursal atau Hadits daif akan tetap dipakai, jika tidak berlawanan dengan
sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat
5. Qiyas, baru beliau pakai pabila beliau
memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan
pada 1-4 di atas.
G.
MAZHAB
SYI’AH
1.
BIOGRAFI MAZHAB SYIAH
Mengenai
kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai
muncul pada masa akhir pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang
pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syi’ah baru
benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang
dikenal dengan Perang Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon
atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang
ditawarkan Muawiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu
kelompok mendukung sikap Ali-kelak disebut Syi’ah, dan kelompok lain menolak
sikap Ali, kelak disebut Khawarij.
Kalangan
Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah
pengganti (khilafah) Nabi
SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu
Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka
hanya Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggntikan Nabi. Kepemimpinan Ali
dalam pandangan Syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan
oleh Nabi SAW pada masa hidupnya. Pada awal kenabian, ketika Muhammad SAW
diperintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima
adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan
bahwa orang yang pertama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan
pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang
menunujukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa besar.
2. Mazhab Syiah Zaidiyah
Mazhab ini
dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin (w. 122 H./740 M.), seorang
mufasir, muhaddits, dan faqih di zaman-nya. Ia banyak menyusun buku dalam
berbagai bidang ilmu. Dalam bidang fiqh ia menyusun kitab al-Majmu’ yang
menjadi rujukan utama fiqh Zaidiyah. Namun ada diantara ulama fiqh yang
menyatakan bahwa buku tersebut bukan tulisan langsung dari Imam Zaid. Namun
Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqh Mesir) menyatakan bahwa pemyataan tersebut tidak
didukung oleh alasan yang kuat. Menurutnya, Imam Zaid di zamannya dikenal
sebagai seorang faqih yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga
tidak mengherankan apabila Imam Zaid menulis sebuah kitab fiqh. Kitab al-Majmu’ ini
kemudian disyarah oleh Syarifuddin al-Husein bin Haimi al-Yamani as-San’ani
(w.1221 H.) dengan judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh
al-Kabir.
Para pengembang
Mazhab Zaidiyah yang populer diantaranya adalah Imam al-Hadi Yahya bin Husein
bin Qasim (w. 298 H.), yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab
Hadawiyah. Dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam
al-Hadi menulis beberapa kitab fiqh. di antaranya Kitab al-Jami’ fi
al-Fiqh, ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-Ahkam fi al-Halal wa
al-Haram. Setelah itu terdapat imam Ahmad bin Yahya bin Murtada (w. 840 H.)
yang menyusun buku al-Bahr az-Zakhkhar al-Jami’ li Mazahib ’Ulama’
al-Amsar.
Pada dasarnya
fiqh Mazhab Zaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqh ahlulsunnah. Perbedaan
yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudlu tidak perlu menyapu telinga,
haram memakan makanan yang disembelih non-muslim, dan haram mengawini wanita
ahlulkitab. Disamping itu, mereka tidak sependapat dengan Syiah
Imamiyah yang menghalalkan nikah mut’ah. Menurut Muhammad
Yusuf Musa, pemikiran fiqh Mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan pemikiran fiqh
ahlurra’yi
3.
Mazhab Syiah Imamiyah
Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqh Syiah Imamiyah lebih
dekat dengan fiqh Mazhab Syafi ’i dengan beberapa perbedaan yang mendasar.Dalam
berijtihad, apabila mereka tidak menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur’an,
mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri. Menurut
mereka, yang juga dianut oleh Mazhab Syiah Zaidiyah, pintu ijtihad tidak pernah
tertutup. Berbeda dengan Syiah Zaidiyah, Mazhab Syiah Imamiyah tidak menerima
qiyas sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasannya, qiyas
merupakan ijtihad dengan menggunakan rasio semata. Hal ini dapat dipahami,
karena penentu hukum di kalangan mereka adalah imam, yang menurut keyakinan mereka
terhindar dari kesalahan (maksum). Atas dasar keyakinan tersebut, mereka
juga menolak ijma’ sebagai salah satu cara dalam menetapkan hukum syara’,
kecuali ijma’ bersama imam mereka.Kitab fiqh pertama yang disusun oleh imam
mereka, Musa al-Kazim (128-183 H), diberi judul al-Halal wa al-Haram.
Kemudian disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh Ali
ar-Ridla (w. 203 H/ 818M). Menurut Muhammad
Yusuf Musa, pendiri sebenarnya fiqh Syiah adalah Abu Ja’far Muhammad bin Hasan
bin Farwaij as-Saffar al-A’raj al-Qummi (w. 290 H.). Dasar pemikiran fiqh Syiah
Imamiyah dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Basya’ir
ad-Darajat fi ’Ulum ’Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah
itu Mazhab Syiah Imamiyah disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin
Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini (w. 328 H.) melalui kitabnya, al-Kafi fi
’ilm ad-Din.
Perbedaan
mendasar fiqh Syiah Imamiyah dengan jumhur Ahlussunnah antara lain:
1.
Syiah Imamiyah
menghalalkan nikah mut’ah yang diharamkan ahlus sunnah;
2.
Syiah Imamiyah
mewajibkan kehadiran saksi dalam talak, yang menurut pandangan ahlus sunnah
tidak perlu; dan
3.
Syiah Imamiyah,
termasuk syiah Zaidiyah, mengharamkan lelaki muslim menikah dengan wanita
Ahlulkitab.
Syiah Imamiyah sekarang banyak dianut oleh masyarakat Iran dan Irak. Mazhab
ini merupakan mazhab resmi pemerintah Republik Islam Iran sekarang.
F. TAQLID
1. Pengertian
dan Hukum Taqlid
Hakekat taqlid menurut ahli bahasa,
diambil dari kata-kata “qiladah” (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan
atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa
Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban).
Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum
yang diikutinya dari seorang mujtahid.
Taqlid artinya mengikut tanpa alasan,
meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu
ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak
mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara
tersebut disebut muqallid.
Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam,
yaitu taqlid yang diperbolehkan dan taqlid yang dilarang atau haram.
a. Taqlid yang diperbolehkan atau
mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang
belum sampai pada
tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat.Sebagaimana yang dikatakan Imam
Hasan Al-Bana mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah sesuatu yang mubah dan
diperbolehkan oleh syariat,namuN meski demikian, hal itu tidak berlaku bagi semua
manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum sampai pada tingkatan an- nazhr atau tidak
memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum
syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang serupa dengan
mereka,yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum,atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan
Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.
b.Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu
bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau
yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang
ini antara lain :
Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq
dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti
menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan
ajaran al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 170 :
#sÎ)ur @Ï%
ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$#
!$tB tAtRr&
ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZøxÿø9r&
Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä
3
öqs9urr& c%x.
öNèdät!$t/#uä
w cqè=É)÷èt
$\«øx©
wur tbrßtGôgt
ÇÊÐÉÈ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah
apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi
Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".
Firman Allah di atas tegas mencela terhadap
orang-orang yang bertaqlid yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan
membabi tuli atau buta.
Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita
ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa
pamrih.
Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah
dan dalil bahwa pendapat orang yang kita
taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dengan
al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat,garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul- betul mengetahui
hukum-hukum Allah dan Rasul.
2. Syarat-Syarat Taqlid
Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat
dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi.
Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut :
a. Syarat-syarat
orang yang bertaqlid
Syarat orang yang bertaqlid ialah orang
awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia
boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan
mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri
hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup.
Namun, kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya
yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka menurut suatu pendapat ia boleh
mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
b. Syarat-syarat
yang ditaqlid
Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah
hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid
pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta
sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan
hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar