Senin, 21 Oktober 2013

Peradilan pada masa Nabi SAW

NAMA                        :SAHIRUDDIN
JURUSAN      :PERBANDINGAN HUKUM
NIMM             :10411002024
RINGKASAN
Ø Peradilan pada masa Nabi SAW
 a. Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang Otoritas Jurisdiksi
Sejarah kenabian dimulai ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali di Gua Hira, kira-kira saat beliau berusia 40 tahun. Setelah kurang lebih 13 tahun menyampaikan risalahnya di Mekah dengan fokus da’wah mengajak manusia untuk bertauhid kepada Allah secara murni dan meninggalkan berhala-berhala. Kemudian sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW mulai membangun sebuah masyarakat dan negara dengan menegakkan hukum-hukum dan syariat Allah  yang nantinya akan menjadi pedoman bagi manusia sepanjang sejarah. Prinsip kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan pada prinsip Tauhid yang meletakkan manusia berkedudukan setara di hadapan Allah dan hukum-hukumNya. Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar dan senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam beberapa ayat-ayat Al-Quran  seperti dalam QS. Al-Nisā: 57, QS. Al-Māidah : 8 , QS. Al-An`ām:153 dan lain-lain.
Keberadaan Nabi SAW sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusitrias politica yaitu kekuasaan legislatif (sulţah tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW merupakan satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan ucapannya juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati. Sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan beliau dan pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta menegakkannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
b. Penunjukan Sahabat sebagai Qādli
Sebagaimana disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu-satunyapemegang otoritas jurisdiksi saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada menunjukkanbahwa Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikankasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara yang memperebutkan hidhār  atau jidār rumah mereka.  Nabi juga diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada `Amru: “Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amru.” Maka `Amru merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya sementara engakau berada bersama kami wahai Rasulullah.
c. Sumber Hukum Peradilan
Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran, seperti saat Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-Mā’idah: 38.
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad belaiu dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai. Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan oleh  Nabi sendiri ketika memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi SAW bersabda:
       إِنِّى إِنَّمَا أَقْضِى بَيْنَكُمْ بِرَأْيِى فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَىَّ فِيهِ    

“Sesungguhnnya aku metutuskan berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.

Ø Peradilan Islam Masa Khulafaurrasyidin

Setelah Wafatnya Nabi Muhammad Saw, Perjuangan Rasulullah SAW diteruskan olehkhulafâ’ al-râsyidîn, yaitu Abu Bakar al-Shiddîq RA, Umar bin Khattab RA, Utsman bin Affan RA, dan Ali bin Abi Thalib RA.

Alasan disebut dengan khulafâ’ al-râsyidîn adalah dikarenakan kata khulâfâ’ berasal dari khalîfahyang berarti pengganti. Sedangkan râsyidûn adalah yang mendapatkan petunjuk. Jadi khulafâ’ al-râsyidîn adalah khalifah-kahlifah (pengganti-pengganti) Rasulullah SAW yang berarti mendapat bimbingan yang benar, karena mereka melakasanakan tugas sebagai pengganti Rasulullah SAW menjadi kepala negara Madinah dan sebagai pembantu rakyat dan wakil pelaksana mereka dalam mengelola negara.

Dalam meneruskan perjuanggan Rasulullah SAW, khulafâ’ al-râsyidîn telah melakukan banyak sekali kebijakan untuk membangkitkan perjuangan Islam. Salah satunya adalah peradilan (yudisial). Ini dikarenakan peradilan adalah sangat penting bagi pembangunan umat Islam itu sendiri, melihat Nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah SWT sudah tidak ada lagi. Maka dari itu, konsep peradilan khulafâ’ al-râsyidîn sangatlah penting dalam sejarah pembentukan ‘Peradilan Islam’.

1.      Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Abu Bakar As-sidiqy

Abu Bakar al-Shiddîq RA, adalah pengganti Rasulullah SAW dalam hal duniawi (pemerintahan) dan dalam hal ukhrawi (spiritual) yang hanya terbatas pada pemimpin agama, seperti imam solat, mufti, dan lain-lain yang bukan sebagai rasul yang mendapatkan wahyu.

Pada saat Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan hukum.

Malahan, pada periode ini peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan kadang-kadang khalifah memberi kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Perkara ini berlaku sampai pada awal kekhalifahan Umar bin al-Khattab. Jadi, pada periode ini, belum ada pemisahan antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sebaliknya khalifah memegang kekuasaan yudikatif1.

Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:

 وفي خلافة أبي بكر تولى عمر بن الخطاب القضاء فكان أول قاض في الإسلام للخلي

dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin al-Khatthâb sebagai hakim, maka adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah)

Abu Bakar RA membagi Jazirah Arab menjadi beberapa wilayah. Beliau melantik pada setiap wilayah tersebut seorang pemimpin (amîr) yang ada sebelumnya. Amîr ini memimpin solat, menjadi hakim bagi perkara yang diangkat padanya, begitu juga melaksanakan hudûd. Dikarenakan ini, Abu Bakar RA memberi setiap amîr tersebut ketiga-ketiga kekuasaan pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).

2.      Peradilan Islam Pada Masa Umar bin Khatab
Setelah wafatnya Abu Bakar RA, kekhalifahan dipegang Saidina Umar bin al-Khattab RA. Pada saat ini, daerah Islam semakin luas. Tugas-tugas pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi semakin rumit. Khalifah Umar RA juga mulai sibuk dengan peperangan yang berlaku antara negara Islam dengan Parsi dan Romawi. Dengan semua kesibukan ini, Umar tidak sempat untuk menyelesaikan semua masalah peradilan. Maka dari itu, beliau memutuskan untuk mengangkat hakim yang berada di luar kekuasaan eksekutif. Ini adalah pertama kali pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif terjadi.
Memisahkan Qadla (Lembaga Peradilan) dari tangan gubernur dan yang mula-mula melakukannya Dikala Khilafah ( pemerintahan ) Islam dikendalikan umar r.a barulah dirasakan perlu mengadakan pejabat tertentu untuk menyelesaikan perkara-perkara yang diadukan kepada penguasa. Pada masa khalifah Umar, kota-kota Islam telah bertambah banyak. Pekerjaan yang harus diselesaikan Khalifah, atau para gubernur telah bertimbun-timbun hingga sukarlah bagi khalifah menyelesaikan sendiri segala perkara yang diajukan kepadanya. Urusan-urusan pengadilan, di samping pemangku-pemangku wilayah umum (Gubernur). Tidak saja di kota Madinah di pusat pemerintahan, Umar mengangkat pejabat tinggi yang khusus mengendalikan lembaga pengadilan, bahkan di kediaman para gubernur pun beliau mengangkat juga pejabat sebagai hakim.
Untuk hakim di Madinah, diangkat Abud Darda. Untuk hakim di Bashrah di angkat Syuraih. Dan untuk hakim di Kufah diangkat Abu Musa Al Asy’ary. Oleh Abu Msalah ditulis Risalatu Qadla.
Kepada Qadli Abu Musalah Amirul Mu’minin ‘Umar, mengirim instruksinya yang dikenal dalam sejarah kehakiman Islam dan menjadi pedoman pokok bagi para hakim.
Yang berwenang mengangkat Qadli (Hakim)Yang berhak mengangkat Qadli dan memberhentikannya pada mulanya adalah Khalifah (Kepala Negara) sendiri. Khalifah sendiri mengangkat seseorang untuk menjabat jabatan Qadli guna di tempatkan di Suatu daerah, atau dengan cara mengirim surat kepada para wali (Gubernur) supaya mengangkat Qadli. Adakala orangnya ditunjuk oleh khalifah atau Gubernur.
Adapun, Al Khatib Al Baghdady menerangkan dalam tarik Baghdad bahwa: wali – Kepala daerah sendiri yang menentukan Qadli yakni tidak menanti amanat Khalifah lebih dahulu.
Dr. Hasan Ibrahim dalam tarik Al Islam As Siyasi berkata: Apabila Kepala Daerah umum urusannya mempunyai wilayah ammmah, yakni mengendalikan segala persoalan yang bersangkutan dengan pemerintahan maka bolehlah ia menentukan, atau mengangkat Qadli-qadli tanpa menanti amarah (perintah) Khalifahnya.
Penjelasan:
Qadli daerah mula-mulanya ditunjuk oleh Khalifah sendiri, Khalifah yang mengutus dari pusat pemerintahan ke suatu daerah, qadli yang telah diangkat menjadi qadlli di daerah itu.
3. Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin al-Khattab RA meninggal dengan dibunuh, maka kursi kekhalifahan dipegang oleh Saidina Utsman bin Affan RA dengan dilantik oleh rakyat. Khalifah Utsman adalah orang yang mengkodifikasi Alquran setelah pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar RA atas usulan Umar RA.
Sistem pengadilan pada zaman beliau adalah sama seperti yang telah diatur Umar RA, karena beliau tinggal meneruskan saja sistem Umar RA yang sudah tertata rapi.
Salah satu perubahan penting bagi pengadilan Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan RA adalah dibangunnya bangunan khusus yang digunakan untuk peradilan negara Islam. Sebelum Khalifah Utsman RA, masjid adalah tempat untuk berperkara.
Dalam memberi hukum, Utsman memakai Alquran, sunnah, lalu pendapat khalifah sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat.
4. Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Setelah meninggalnya Utsman RA, Saidina Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai khalifah. Beliau tidak melakukan perubahan di dalam peradilan. Beliau juga berpegang pada Alquran, sunnah, lalu merujuk pada khalifah sebelumnya. Seumpama tidak ditemui, baru beliau bermusyawarah dengan sahabat yang lain berdasarkan pada ayat: {وشاورهم في الأمر}.
Sesuai dengan khalifah sebelumnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA juga membayar gaji para hakim dengan memakai uang yang ada di Bait al-Mâl.
Selain dari itu, dalam usaha Khalifah Ali RA meningkatkan kualitas peradilan Islam, beliau memberi insruksi kepada Gubenur Mesir dalam penentuan orang-orang yang akan diangkat menjadi hakim. Di dalam instruksi itu, ditekankan agar penguasa memilih orang-orang yang akan menjadi hakim dari orang-orang yang dipandang utama oleh penguasa sendiri, jangan dari orang-orang yang berpenghidupan sempit, jangan dari orang-orang yang tidak mempunyai wibawa dan jangan pula dari orang-orang yang loba kepada harta dunia, di samping mempunyai ilmu yang luas, otak yang cerdas, daya kerja yang sempurna.
Ø Peradilan di Masa Bani Umayyah

Setelah masa Khalifah yang empat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayyah, didirikan oleh Muawiyah Bin Abi Sufyan. Pada masa kekuasaan Bana Umayyah, ketatalaksanaan peradilan makin disempurnakan, badan peradilan mulai berkembang menjadi lembaga yang mandiri. Dalam menangani perkara, para hakim tidak terpengaruh oleh sikap atau kebijaksanaan politik penguasa negara. Mereka bebas dalam mengambil keputusan, dan keputusan mereka juga berlaku terhadap pejabat tinggi Negara. Pada masa tabi’in ini, para ahli fiqh baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in telah tersebar di berbagai ibu kota karena semakin luas daerah penaklukan. Maka Khalifah mengangkat hakim untuk ibu kota dan menyerahkan kepada hakim-hakim itu kekuasaan mengangkat hakim-hakim daerah. Para hakim dibatasi wewenangnya. Hakim tidak mempunyai hak untuk mengawasi putusan-putusan hakim yang lain. Hakim ibu Negara sendiri tidak bisa membatalkan putusan-putusan hakim daerah. Yang berhak berhak membatalkan putusan tersebut hanyalah Khalifah sendiri atau wakil-wakilnya dengan instruksi daripadanya. Tugas para hakim di masa itu hanya mengeluarkan vonis dalam perkara-perkara yang diserahkan kepadanya. Tentang pelaksana hukuman, maka kadang-kadang diawasi sendiri oleh hakim, atau diawasi oleh orang-orang yang ditunjuk oleh hakim.
Pada masa itu belum ada hakim yang khusus yang memutuskan perkara pidana dan hukuman penjara. Kekuasaan ini dipegang oleh Khalifah sendiri.Adapun peradilan di masa Bani ‘Umayyah mempunyai dua ciri khusus, antara lain :

1.      Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-hal yang tidak ada nash atau ijma’. Pada waktu itu madzhab-madzhab yang empat belum lagi lahir dan belum menjadi pengikat bagi putusan-putusan hakim. Para hakim pada masa itu berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-sunnah.
2.      Lembaga peradilan pada masa itu belum lagi dipengaruhi oleh penguasa. Hakim-hakim pada masa itu mempunyai hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa. Putusan-putusan meraka tidak saja berlaku atas rakyat biasa, bahkan juga berlaku atas penguasa-penguasa sendiri. Dari sudut lain, Khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat hakim-hakim yang menyeleweng dari garis-garis yang sudah ditentukan. Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, kepala negara yang kedelapan dari Dinasti Umawiyah, menentukan lima keharusan bagi para hakim :
a)      Harus tahu apa yang telah terjadi sebelum dia.
b)      Harus tidak mempunyai kepentingan pribadi.
c)      Harus tidak mempunyai rasa dendam.
d)      Harus mengikuti jejak para imam.
e)      Dan harus mengikutsertakan para ahli cerdik dan pandai.

Ø Peradilan Pada Masa Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al Abbas al Shaffah (750-754 M). Namun demikian pendiri yang sesungguhnya adalah Abu Ja’far al Manshur (754-775 M). dinasti Abbasiyah menjalankan imperium kekuasaannya hampir selama 7 (tujuh) abad yakni semenjak tahun 750 – 1258 M. Dinasti ini runtuh akibat serangan bangsa mongol yang dikomandani oleh panglima besar mereka Hulagu Khan pada tahun 1258 M.
Keberadaan peradilan pada masa ini sesungguhnya meneruskan tradisi dan kebijakan yang telah dijalankan oleh dinasti sebelumnya yakni masa kekuasaan Umayyah. Sebagaimana Umayyah yang melebarkan kekuasaannya ke berbagai penjuru kawasan, Abbasiyah juga memperluas kekuasaannya dan sekaligus membentuk pemerintah daerah di berbagai tempat. Pemerintahan daerah yang didirikan itu antara lain bertugas mengelola secara administratif kawasan-kawasan yang baru ditaklukkan. Para pemegang kekuasaan pemerintahan daerah itu disebut Amir, Qaid al Jund, Amil khalifah atau Amil saja. Pada awalnya pemegang kekuasaan ini bertugas melakukan segala bidang yang berkaitan dengan pemerintahan daerah. Namun dalam perkembangan selanjutnya pada setiap bidang ditunjuk pejabat yang menanganinya. Penunjukan ini dilakukan oleh khalifah.
Salah satu dari pejabat daerah yang diangkat oleh khalifah adalah ‘Pejabat Qadli’ ditingkat gubernur. Baik itu pada wilayah kekuasaan Muatakfi ataupun pada wilayah yang termasuk kawasan kekuasaan Istila’. Masing-masing dari dua bentuk kekuasaan ini terdapat hakim yang diserahi tugas untuk menerima, memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan umat Islam kepada badan peradilan tersebut. Hakim-hakim daerah ini keputusan yang dihasilkannya mengikat bagi para pihak yang bersengketa. Kecuali jika para pihak menyatakan keberatannya terhadap putusan yang telah ditetapkan, maka mereka diperkenankan untuk mengajukan gugatan banding ke tingkat peradilan yang lebih tinggi yakni ke lembaga Qadli Qudhat (MA) yang berada di pusat ibu kota kerajaan Abbasiyah. Orang yang pertama kali menjabat kekuasaan Qadli Qudhat ini adalah Abu Yusuf murid dari Mujtahid Besar Persia Abu Hanifah. Sejarah mencatat bahwa Qadli qudhat ini pertama kali dibentuk pada masa Abbasiyah tepatnya pada masa kekuasaan Harun al Rasyid. Bahkan Joseph Scacht dalam bukunya “Pengantar Hukum Islam” mengatakan bahwa Harun al-Rasyid tidak hanya memerlukan nasehat-nasehat Qadhi Abu Yusuf dalam bidang politik keuangan saja, melainkan Harun al-rasyid juga terbiasa merembuk dengan dia tentang pengangkatan seluruh qadhi di kerajaan.
Selain Abu Yusuf, murid Abu Hanifah lainnya yang menjadi pejabat Qadli Qudhat adalah Muhammad Ibn Hasan al Syaibaniy. Jika pada masa Khalifah Rasyidun dan masa Ummayah Khalifah memegang kekuasaan Yudikatif dan ekskutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam urusan peradilan. Dalam artian khalifah tidak lagi mengurus dan memeriksa perkara-perkara yang diajukan oleh umat islam ke pengadilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan, maka para hakim yang ditunjuk oleh khalifah-lah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan persoalan politik baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga tidak punya kesempatan lagi untuk membina peradilan secara langsung. Sehingga yang terjadi adalah khalifah tidak lagi memiliki kemmapuan ijtihad dan keahlian dalam hukum islam sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh 4 (empat) khalifah rasyidun yang disamping sebagai seorang khalifah juga seorang ahli hukum.
Pada masa awal berdirinya, para khalifah dinasti Abbasiyah masih terlihat ikut campur tangan dalam keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh badan-badan peradilan. Khalifah hanya mengawasi dan mengontrol pekerjaan hakim, jika terdapat hakim yang melanggar dan menyimpang dari tugasnya maka khalifah segera memecatnya. Akan tetapi semenjak berkembang dan munculnya imam-imam mujtahid, kondisi seperti itu lambat laun mulai berubah. Hal ini mengingat adanya beberapa pertiakaian dan pertengkaran yang terjadi antara hakim-hakim dengan pendapat pribadi mujtahid yang kadangkala berbenturan satu dengan yang lainnya. Seringnya perdebatan sebenarnya berdampak pada dua hal, pertama, mendinamisasi wacana keilmuan di sekitar hukum Islam (fiqh) namun di sisi lain, kedua, menciptakan suasana ketidakpastian hukum di tengah-tengah masyarakat. Karena setiap keputusan hakim tentang suatu perkara kadang diperdebatkan dasar hukum dan kesahihannya oleh para mujtahid yang mengetahui kasus tersebut beserta hukum yang mungkin benar menurut pendapatnya. Pada akhirnya Khalifah melepaskan diri dari campur tangan terhadap lembaga peradilan itu, karena sesungguhnya pendapat hakim itu kebanyakan bukan murni keputusan hukum, melainkan berupa pesan-pesan yang diinginkan oleh khalifah untuk maksud-maksud tertentu. Demikianlah dapat disimpulkan bahwa pada awalnya dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur tangan itu akhirnya ditinggalkan. Khalaifah akhirnya hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan formalitas belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya memiliki otorita dan independenitas yang tinggi.

Tidak ada komentar: